Sejarah dan Filosofi Keris Carubuk
Keris Carubuk |
Hartalangit.com - Keris Carubuk adalah salah satu dhapur Keris luk 7 dengan panjang bilah sedang dan nglimpo (tanpa odo-odo). Ricikan pada Keris ini, antara lain: kembang kacang, jalen, lambe gajah satu, pejetan, sraweyan dan greneng.
Pada jaman dahulu Keris dhapur Carubuk biasanya dimiliki oleh orang-orang yang mendalami ilmu spiritual, bahkan konon Keris pusaka milik Kanjeng Sunan Kalijaga bernama Kyai Carubuk.
Keris Kyai Carubuk merupakan Pusaka milik Kanjeng Sunan Kalijaga yang merupakan mahakarya ketiga dari Empu Supo Mandrangi selain Keris Kyai Sengkelat dan Keris Kyai Nogososro. Keris ini juga merupakan salah satu Keris pusaka peninggalan Kerajaan Mahapahit.
Baca juga: Pusaka-pusaka ampuh peninggalan Kerajaan Majapahit
Keris Kyai Carubuk kemudian menjadi senjata Pusaka Sultan Hadiwijaya. Konon Keris Carubuk sanggup mengalahkan Keris Kyai Setan Kober milik Arya Penangsang yang ketika itu digunakan oleh utusan Arya Penangsang untuk melakukan percobaan pembunuhan terhadap Sultan Hadiwijaya.
Karena utusan Arya Penangsang dapat dikalahkan, kemudian Keris Kyai Setan Kober di ambil oleh Sultan Hadiwjaya, lalu dikembalikan sendiri oleh Sultan Hadiwjaya kepada Arya Penangsang.
Tindakan tersebut membuat Arya Penangsang tersinggung dan marah besar sehingga terjadilah keributan antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya. Tapi keributan tersebut dapat dilerai oleh Kanjeng Sunan Kudus.
Filosofi Keris Carubuk:
Carubuk memiliki pengertian "bagaikan bumi", menjadi Manusia harus "Momot, Bakuh, Pengkuh, aja tampik ingkang den arepi among marang ingkang becik kewolo, Kang ala aja den emohi".
Artinya: "Bahwa Manusia itu harus bagaikan bumi, tidak hanya menerima hal-hal yang kita sukai saja namun harus juga bisa menerima hal-hal yang tidak disukai, karena kesemuanya itu adalah wujud warna kehidupan, bagaikan bumi yang selalu dapat menerima biji yang baik ataupun yang tidak baik".
"Penerimaan" mengandung arti seseorang yang ikhlas akan sesuatu hal. "Penerimaan" disini bukan sekedar penerimaan apa adanya atau menyerah pada nasib, melainkan penerimaan atas hasil usaha atau ikhtiar yang telah dilakukan.
Berusaha, berdoa dan tawakal adalah wajib, soal apakah nanti hasilnya baik atau tidak, sesuai harapan atau tidak, kata syukur senantiasa harus terucap karena urusan hasil adalah mutlak urusan Sang Pencipta.
Pemahaman ini akan mengajarkan kita untuk dapat ikhlas, tidak mengharapkan sebuah balasan dan menjadi pribadi yang selalu bersyukur pada apapun yang telah diberikan oleh Sang Khalik dan menjadi simbol optimisme, keyakinan, sekaligus kepasrahan.
Menerima bukanlah perkara mudah, dan ikhlas adalah ilmu yang paling sulit untuk dikuasai, sedangkan kita tahu bahwa TUHAN memiliki rencana yang terbaik untuk kita.
Dalam filosofi Jawa, Keris dhapur Carubuk mengandung makna untuk selalu mengingat asal-usul, menjalani hidup dan kehidupan sesuai yang telah digariskan, menyerahkan segala sesuatunya kepada kehendak Sang Pencipta, dan memiliki sikap batin agar sanggup menerima dengan ikhlas semua kehendak-NYA, baik berupa rahmat maupun ujian setelah kita melakukan upaya dan ikhtiar.
Sikap tersebut akan membuat kita tidak akan pernah merasa lelah ataupun putus asa dalam menghadapi tantangan hidup untuk mencapai cita-cita dan harapan, karena usaha dan perjuangan yang kita lakukan untuk mendapatkan peningkatan dalam hal materi maupun ilmu spiritual bukan berdasarkan nafsu dan ambisi semata, akan tetapi sebagai sebuah laku atau kewajiban Manusia dalam menjalani hidup.
Sikap tersebut juga akan membentuk perilaku selalu ikhlas dan senantiasa bersyukur atas anugerah TUHAN.
Carubuk juga bisa berarti "crubuk / ceroboh / gegabah". Maknanya bahwa dalam hidup ini jangan sampai kita berbuat ceroboh / gegabah dalam hal apapun, semua harus di perhitungkan baik dan buruknya serta akibatnya agar selamat di dunia dan di akhirat.
Dalam filosofi Jawa, luk tujuh (7) disebut "pitu" yang dalam jarwo dosok bisa berarti "pitutur, piwulang, dan pitulungan", yang artinya "ajaran yang baik, petunjuk, dan pertolongan".
Angka tujuh (7) bagi penduduk Nusantara, terutama masyarakat Jawa merupakan angka keramat yang memiliki makna ketentraman, kebahagiaan, kewibawaan dan kesuksesan.
Angka tujuh (7) dapat di samakan dengan jumlah lapisan langit (sap) yang seluruhnya ada tujuh sap, begitu juga dengan jumlah hari dalam seminggu yang terdiri dari 7 hari.
Selain itu, berbagai ritual selamatan (slametan) seperti selamatan anak dalam kandungan yang dilakukan pada bulan ke-7 yang disebut mitoni / pitonan. Dalam upacara kematianpun juga dilakukan peringatan pada hari ke-7 (pitung dinanan).
Tuah Keris Carubuk:
Dari segi tuah, Carubuk yang sering disebut juga Crubuk dapat diartikan ceroboh, gegabah atau bodoh. Maknanya bahwa tuah Keris Carubuk dapat membuat lawan menjadi bersikap ceroboh, gegabah dan menjadi terlihat bodoh (tidak dapat berbuat apa-apa) ketika berhadapan dengan pemiliki Keris Carubuk.
Baca juga: Pengertian tuah pada Keris pusaka
Demikian sedikit informasi tentang sejarah, filosofi dan tuah Keris Carubuk yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini. Untuk informasi lain seputar benda-benda pusaka, dapat dibaca pada artikel Harta Langit yang lain.
Semoga bermanfaat
Terima kasih
Post a Comment for "Sejarah dan Filosofi Keris Carubuk"