Filosofi dan Tuah Keris Karno Tanding
Keria Karno Tanding / Karno Tinanding |
Tuah utama Keris Karno Tanding adalah untuk kewibawaan, keberanian, ketegasan dan jiwa kesatria sesuai dengan wujud dan namanya.
Keris Karno Tanding juga melambangkan jati diri Manusia akan pertarungan terhadap dirinya untuk menemukan hakikat yang sebenarnya, untuk menuntun Manusia pada hidup yang lebih baik.
Keris ini melambangkan sifat kesatria sejati yang menjunjung tinggi harga diri dan tanggung jawab yang di pikulnya, untuk selalu setia dan melaksanakan amanat yang dipercayakan kepadanya, tidak boleh pandang bulu apalagi berkhianat walaupun demi keluarga atau golongannya sekalipun. Filosofi Keris Karno Tanding adalah sebuah prinsip hidup seorang kesatria sejati.
Sifat kesatria harus senantiasa di junjung tinggi, karena seorang kesatria sejati tidak akan mengkhianati sebuah kepercayaan, selalu melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang ada dipundaknya.
Keris Karno Tanding melambangkan keberanian, ketegasan, kesetiaan dan tanggung jawab. Keris ini sangat cocok di miliki oleh para Pejabat Pemerintahan, Polisi, TNI, Hakim dan Jaksa yang memikul tanggung jawab berat dalam pekerjaannya karena mendapat amanat rakyat, agar senantiasa memiliki keberanian, ketegasan dan keteguhan dalam menjalankan pekerjaannya.
Karno Tanding merupakan bagian dalam cerita perang Baratayuda di Padang Kurusetra yang menceritakan pertempuran dua senopati pilih tanding yaitu Arjuna dari Madukoro sebagai panglima perang Negara Amarta melawan Adipati Basukarno dari Awonggo sebagai panglima perang Negara Astina.
Arjuno/Janoko adalah anak dari Kunti Nalibronto dengan Raja Astina Pandu Dewonoto. Sedangkan Basukarno/Karno adalah anak dari Kunti Nalibronto dengan seorang Dewa bernama Bethoro Suryo atau Dewa Matahari.
Jauh sebelum Kunti Nalibronto bersuami, dia pernah bermain-main dengan Aji Pameling (sebuah kesaktian yang mampu mendatangkan siapapun yang dikehendaki), sehingga datanglah Bethoro Suryo. Karena Melihat kemolekan tubuh Kunti, Bethoro Suryo jatuh hati dan akhirnya Kunti mengandung seorang bayi yang kemudian di lahirkan dari telinganya, kemudian anak tersebut diberi nama "KARNO" yang artinya telinga.
Sebagai seorang putri Raja besar, Kunti merasa malu karena melahirkan seorang anak padahal dia belum bersuami. Akhirnya anak tersebut di larung di sungai Gangga. Bayi Karno kemudian diketemukan dan dirawat oleh seorang kusir kerajaan bernama Adiroto.
Karno tumbuh menjadi Satria yang tangguh dan memiliki keahlian dalam memanah, dia-pun muncul pada waktu pendadaran siswa di Padepokan Sukolimo.
Kemampuan Karno dalam memanah bisa menyamai kemampuan Arjuno dalam memanah, tapi sayannya dia tidak bisa ikut berlatih di Padepokan Sukolimo (Padepokan Resi Durno) karena bukan keturunan bangsawan.
Karno-pun di usir dari ajang pendadaran siswa Padepokan Sukolimo karena bukan darah bangsawan. "Kamu hanya anak seorang kusir" kata Arjuno.
Karno merasa malu dan menjadi rendah diri kemudian pergi. Kabar bahwa Karno adalah satu-satunya Satria yang mampu menandingi kecepatan panah Arjuno terdengar sampai ke telinga Prabu Duryudono Raja Astina.
Karno-pun dicari oleh Prabu Duryudono dan di angkat menjadi Adipati di Awonggo, sebuah Kadipaten di bawah kekuasaan Astina, sehingga akhirnya Karno bisa berlatih di Padepokan Sukolimo.
Karno Tanding menceritakan sebuah Pertempuran dua saudara kandung satu ibu tapi lain ayah. Keduanya sama-sama sakti, sama-sama ahli memanah, sama-sama memiliki senjata sakti dari Dewa. Kunti Nalibronto hanya bisa meneteskan air mata melihat kedua putranya saling bertempur.
Baca juga: Makna dan ajaran spiritual Keris Pasopati
Sebelum pertempuran Baratayuda dimulai, kedua kesatria ini pernah di pertemukan oleh Ibunya. Kunti yang lembut dan bijaksana sampai rela bersimpuh di kaki Karno meminta ampun atas penderitaan Karno karena telah dibuangnya dan memohon agar Karno mau bergabung dengan saudaranya di Pandawa atau Amarta.
Kunti tau jika pertempuran Baratayuda benar-benar terjadi, maka hanya Karno-lah yang mampu menghadapi Arjuno, itu artinya kedua putranya akan saling berhadapan di arena peperangan. Tapi dengan sikap yang arif dan penuh hormat, Karno memohon maaf pada ibunya karena tidak bisa memenuhi permintaannya untuk bergabung dengan Pandawa, karena Karno adalah kesatria sejati yang pantang berkhianat demi keluarga bahkan ibunya sekalipun.
Sebagai seorang kesatria sejati Karno tidak akan menghianati kepercayaan Prabu Duryudono yang telah mempercayainya dan mengangkat derajadnya dari hanya seorang anak seorang kusir, kini dia hidup penuh kemewahan dan kehormatan dengan menjadi Adipati Awonggo. Semua itu karena jasa Prabu Duryudono.
Jadi apapun yang terjadi, Karno akan tetap setia pada Prabu Duryudono karena haya Prabu Duryudono yang mau memberikan kepercayaan sebesar itu kepada Karno yang dulu selalu disepelekan karena dia hanya anak dari seorang kusir.
Dari cerita tersebut maka dapat di ambil sebuah pelajaran dari Keris Karno Tanding/Karno Tinanding, bahwa Manusia harus senantiasa bersikap kesatria seperti sifat Karno yang tidak pernah melupakan asal-usulnya dan tetap setia pada siapa yang telah memberi kepercayaan dan mengangkat derajadnya. Meskipun hatinya pedih karena harus berperang melawan saudaranya sendiri.
Baca juga: Makna spiritual Keris Pulanggeni
Demikian sedikit informasi tentang filosofi dan tuah Keris Karno Tanding yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini. Untuk informasi lain seputar benda-benda pusaka, dapat dibaca pada artikel Harta Langit lainnya.
Semoga bermanfaat
Terima kasih
Terima kasih
Post a Comment for "Filosofi dan Tuah Keris Karno Tanding"