Filosofi Keris Jangkung Mangkunegoro
Hartalangit.com - Jangkung Mangkunegoro merupakan salah satu dhapur Keris Luk 3 dengan ricikan, antara lain: kembang kacang, lambe gajah dua, jalen, pijetan, tikel alis, sraweyan, sogokan rangkap dan greneng.
"Jangkung" bisa berarti menuntun, melindungi, mengawasi dan menjaga dari kejauhan (njangkungi), sedangkan "Mangkunegoro" berasal dari kata "Mangku" yang berarti memangku/menopang/menyangga, dan "Negoro" dapat berarti Negara atau wilayah beserta segala yang hidup dan ada didalamnya.
Jangkung Mangkunegoro memiliki arti mengatur dan memerintah Negara atau wilayah yang menjadi kekuasaannya. Dari nama tersebut, maka tersirat makna simbolik yang terkait dengan suatu ajaran kepemimpinan.
Dalam konsep kepemimpinan Jawa, kekuasaan bukan diperuntukkan bagi seorang pemimpin, akan tetapi lebih menekankan pada dampak yang baik bagi rakyat dan Negara.
Seorang pemimpin dianggap berhasil jika Negara yang dipimpinnya dalam keadaan aman, tenteram, damai, dan rakyatnya sejahtera. Hasil dari kepemimpinan seorang Raja diperoleh tanpa tindakan paksa, seolah mengalir dengan sendirinya, atau seolah-olah tanpa usaha yang mencolok. Sehingga dalam kondisi demikian kekuasaan seorang Raja tidak perlu lagi ditonjolkan.
Jika tercapai kondisi tersebut, maka kekuasaan dan kewibawaan seorang pemimpin/Raja akan terlihat dengan sendirinya di mata rakyat.
Dalam paham kepemimpinan Jawa, justru penguasa yang baik harus menghindari tindakan kekerasan. Kehalusan dalam bersikap dan berperilaku, yaitu halus dalam bertutur kata, halus dalam memberikan perintah, dan bersikap sopan terhadap orang lain akan menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang beradab.
Baca juga: Filosofi dan tuah Keris Singo Barong
Kepemimpinan yang halus menunjukkan bahwa seorang Raja dapat mengontrol dirinya secara sempurna, hal itu menunjukkan bahwa dirinya telah matang jiwanya. Dan sebaliknya, sikap kasar akan dinilai rendah dan kurang berbudaya, sifat kurang kontrol diri tersebut merupakan cerminan dari belum matang jiwanya. Sikap kasar dan emosional justru akan memperlemah kedudukannya sebagai seorang pemimpin.
Bersikap halus bukan berarti tidak tegas, tetapi lebih menekankan kontrol diri terhadap suatu permasalahan. Pemimpin seharusnya bersikap tanuhita (mengayomi dan njangkungi), tidak keras hati dan memaksakan kehendaknya atau bersikap kasar untuk mempertahankan kewibawaannya. Hal itu tentunya menuntut suatu pemerintahan yang dijalankan dengan suatu sistem ketatanegaraan dan perundang-undangan yang baik dan kepribadian seorang pemimpin/Raja yang penuh suri tauladan. Itulah filosofi Keris Jangkung dalam konsep kepemimpinan Jawa.
Makna ricikan pada Keris Jangkung Mangkunegoro:
• Kembang Kacang
Merupakan simbol untuk selalu tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin hendaknya berorientasi ke depan dalam menjalankan tugasnya agar sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya dapat terus tumbuh dan berkembang, yaitu pertumbuhan yang terencana dengan baik.
• Lambe Gajah
Merupakan simbol ucapan yang baik dan dapat dipercaya. Seorang Raja/pemimpin harus teguh memegang janji yang telah diucapkan, sebagaimana sesanti "Sabda Pandita Ratu Tan Kena Wola-Wali".
Ucapan seorang Raja adalah janji, sehingga harus dilaksanakan dan tidak boleh dibatalkan atau di ingkari. "Esuk dhele sore tempe" (pagi kedelai, sore hari sudah berubah menjadi tempe) merupakan ungkapan yang harus dihindari. Ungkapan tersebut menunjukkan tabiat seseorang yang dengan mudahnya merubah sikap perkataanya sekehendak hatinya, berubah pendirian dalam waktu yang singkat (plin-plan).
Sikap yang demikian akan mendatangkan kesulitan bagi dirinya maupun orang lain. Jadi setiap permasalahan hendaknya dipelajari dan dipertimbangkan secara matang dengan segala konsekuensinya sebelum mengambil keputusan.
• Jalen
Jalen berasal dari kata Jalu (taji ayam jago) yang merupakan simbol keberanian. Seorang pemimpin harus berani mengambil resiko dari setiap keputusan yang diambilnya. Meskipun tidak populer, asalkan tujuannya untuk kesejahteraan rakyat tentunya keputusan tersebut harus tetap diambil.
Seorang pemimpin harus berani bersikap adil terhadap semua lapisan masyarakat, baik terhadap rakyat maupun pejabat, bahkan keluarganya sendiri. Berani dalam membela kebenaran atau berpijak pada aturan tanpa pandang bulu.
Keyakinan dalam menjalankan kebenaran sesuai ajaran "Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti" yang berarti kejahatan dan kekerasan akan terkalahkan dengan kehalusan budi, dalam arti tidak harus suatu kekerasan dilawan dengan kekejaman.
Dalam hal ini seorang pemimpin harus berani tanpa ragu dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya, kapan harus memberikan toleransi dan kapan harus bertindak tegas.
• Pijetan
Melambangkan sikap berlapang hati dan sabar. Seorang pemimpin hendaknya memiliki hati sedalam lautan dan seluas samudera agar dapat menerima segala aspirasi dari masyarakat dan sabar menerima setiap kritikan terhadap dirinya dan segala nasihat serta saran dari para bawahannya.
• Tikel Alis
Melambangkan penampilan yang baik, roman muka cerah yang menunjukkan sikap keramah tamahan yang menyenangkan bagi orang lain.
Dalam menghadapi permasalahan sesulit apapun, seorang pemimpin harus tetap mampu bermuka manis. Perasaan marah dan tidak suka harus disembunyikan dengan tetap tersenyum karena kemarahan yang meledak-meledak merupakan tindakan yang kurang pantas bagi seorang pemimpin. Tikel Alis juga melambangkan segala sikap tindakan selalu ada batas-batasnya.
• Sogokan Rangkap
Sogokan rangkap dan odo-odo sampai ke ujung bilah melambangkan keharusan bagi seorang pemimpin untuk selalu tekun menggali potensi diri, menuangkan dan mewujudkan gagasan dan mengembangkan kreatifitasnya kearah yang positif. Hal itu harus terus dilakukan dengan konsisten dan tidak berhenti di tengah jalan untuk dapat menuntaskan setiap tujuan.
• Sraweyan
Melambangkan kemampuan untuk menjaga keselarasan dan beradaptasi. Seorang pemimpin tidak dituntut untuk merubah tatanan yang sudah ada jika itu sudah dirasa baik, tapi justru harus menjaga agar keselarasan tidak terganggu.
Sebagai seorang pemimpin sebaiknya harus mau belajar hidup ditengah-tengah berbagai macam struktur dan keadaan, entah itu baik maupun buruk. Melalui sikap yang mau membaur (ajur-ajer) itu akan membantunya untuk mengetahui setiap isu dan permasalahan yang terjadi di masyarakat, sehingga dapat tercipta keadaan yang adil dan makmur.
• Greneng
Merupakan simbol momong rasa atau kemampuan mengendalikan diri. Kemampuan ini merupakan inti kesaktian dari seorang Raja atau pemimpin.
Pada jaman dahulu, olah rasa sering dicapai dengan cara bertapa atau bersemedi. Sebagaimana laku tapa atau semedi, dalam konteks pengertian modern, bertapa merupakan konsekuensi menjalankan ibadah dan ajaran agamanya secara baik dan benar.
Keutamaan dalam laku tersebut yaitu pengendalian diri terhadap keduniawian (sepi ing pamrih) dan kesediaan untuk memenuhi kewajibannya secara bertanggung jawab (rame ing gawe). Seorang pemimpin atau Raja akan kehilangan kasekten (kesaktian) jika mengikuti hawa nafsunya dan mengejar kepentingan pribadi/pamrih dan mulai malas berkarya.
Pamrih akan melunturkan kekuasaanya, karena pusat pengendalian diri tidak terletak pada batinnya lagi, tetapi pribadinya lebih banyak dipengaruhi unsur-unsur negatif dari luar. Jika kondisinya sudah demikian, sebenarnya seorang pemimpin/Raja sudah mulai kehilangan kesaktiannya.
• Pudak Setegal
Pada Keris Jangkung Mangkunegoro juga sering menyertakan ricikan Pudhak Setegal yang artinya pandan satu ladang yang merupakan simbol dari kokohnya kepemimpinan dan selalu menyebarkan keharuman. Artinya, seorang pemimpin harus dapat bermanfaat bagi Negara, rakyat dan alam seperti halnya daun pandan, sehingga dirinya dapat memiliki nama harum (baik) seperti aroma harum daun pandan (pudhak).
Baca juga: Filosofi ricikan Keris Pudhak Setegal
Konsep kepemimpinan Jawa dapat dijabarkan dalam beberapa ajaran yang terkait dengan makna dalam setiap ricikan Keris Jangkung Mangkunegoro.
Menurut ajaran Sastra Jendra Hayuningrat, sosok pemimpin yang ideal hendaknya memiliki kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Hal itu telah lama tersurat dalam ilmu Sastra Jendra Hayuningrat, yang antara lain memuat kriteria bagi seorang pemimpin, antara lain:
• Kawruh tan wonten malih, artinya selalu mengembangkan diri dengan menuntut ilmu pengetahuan yang nyata (ilmiah).
• Pangruwating barang sakalir, artinya selalu berusaha membebaskan diri dari segala nafsu angkara murka.
• Ngelmu wewadining bumi kang sinengker hyang jagad pratingkah, artinya selalu mempelajari ilmu rahasia tentang alam semesta yang berasal dari Tuhan.
Seorang pemimpin hendaknya juga mampu mengolah hati dengan cara mawas diri. Dalam kaitan ini orang Jawa mengenal tiga falsafah psikologis mawas diri, yaitu:
• Handarbeni, yaitu sikap merasa memiliki dan mencintai negara.
• Hangrungkebi, berani membela negara demi keadilan dan kebenaran.
• Mulat sarira hangrasa wani, berani instropeksi dan mengoreksi diri secara jujur dan obyektif, sehingga mau dan mampu merasakan apa yang dirasakan rakyatnya.
Dalam konteks ini seorang Raja/pemimpin harus memiliki 3 watak, yaitu:
• Adil (adil tan pilih asih)
• Berbudi (bermurah hati dan jujur)
• Wicaksana (bijaksana)
• Berbudi (bermurah hati dan jujur)
• Wicaksana (bijaksana)
Ketiga hal itu merupakan syarat yang sangat universal bagi seorang pemimpin. Pemimpin harus menegakkan wibawa dan kehormatan dengan sikap berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta (berbudi luhur, mulia, adil serta penuh kasih sayang terhadap siapa saja).
• Hamong
Sorang pemimpin (Raja) harus sanggup berperan sebagai pamong yaitu orang yang bisa "ngemong" atau melayani, bukan sebagai orang yang minta dilayani. Melayani berarti bertindak bukan sebagai penguasa, akan tetapi sebagai abdi rakyat, menuntut sikap menjauhi rasa kecewa dan menjauhi sifat mudah mencela.
• Hamot
Berarti mampu menerima (amot/mewadahi) semua hal yang didengar atau disampaikan oleh orang lain. Mendengarkan keluhan dan aspirasi dari rakyat.
• Hamemangkat
Menjaga derajat dan kedudukan sebagai seorang pemimpin. Sebagai seorang pemimpin/Raja harus menjaga martabat pribadi dan negara dengan menjaga tingkah laku yang baik (moralitas) dan menjadi suri tauladan bagi rakyatnya.
Tiga larangan bagi seorang pemimpin yaitu sifat Adigang, Adigung, Adiguna.
• Adigang
Berarti seorang pemimpin tidak selayaknya mengandalkan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang dan berlaku sombong.
• Adigung
Berarti seorang pemimpin jangan mengandalkan kepandaiannya untuk membodohi dan membohongi rakyat.
• Adiguna
Berarti seorang pemimpin jangan berani dan pintar berdiplomasi hanya untuk mengingkari janji atau kebenaran (berdalih). Sebaiknya pemimpin harus rereh, riris dan ngati-ati (sabar, teliti dan hati-hati) dalam menjalankan pemerintahan.
Secara umum Keris Jangkung Mangkunegoro memiliki makna bahwa seorang pemimpin hendaknya memberikan perlindungan (njangkungi) dan memelihara secara menyeluruh terhadap segala sesuatu dalam wilayah kekuasaannya dan menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Budi pekerti dan laku susila (moral) yang harus menjadi teladan bagi masyarakat.
Simbolisasi dalam Keris Jangkung Mangkunegoro membentuk pola kepemimpinan yang dapat dijadikan inspirasi bagi setiap pemimpin dalam mengelola kekuasaan dan berinteraksi dengan masyarakat. Semakin kuat struktur pemerintahan dan sistem kepemimpinan, maka semakin tidak tampak kekuasaan seorang Raja, karena dia menjalankan dan mengelola Negara dengan sistem tata Negara dan perundang-undangan yang baik, sehingga fungsi-fungsi pemerintahan dapat berjalan dengan semestinya.
Keberhasilan kepemimpinan dari kekuasaan seorang Raja terukur dari kesejahteraan Negara dan rakyatnya. Itulah antara lain cita-cita yang diusung dari suatu ajaran yang disimbolkan dalam Keris Jangkung Mangkunegoro. Raja yang baik hendaknya menjaga keseimbangan antara kekuasaan besar dengan kewajiban dan tanggung jawab yang besar pula.
"Negara titi tentrem, nagari ingkang panjang punjung pasir wulir loh jinawi gemah ripah karta tur raharja". Yang artinya: "Negara yang aman tenteram, terkenal karena kewibawaannya, besar dan luas wilayahnya meliputi pegunungan sampai laut, hasil bumi yang melimpah, negara kaya dan rakyat sejahtera".
Itulah gambaran keberhasilan kepemimpinan dari seorang Raja yang membawa Negara menuju kejayaan dan masyarakat yang adil sejahtera. Wujud kepemimpinan seorang pemimpin yang dinantikan bangsa ini sejak lama.
Demikian sedikit informasi tentang filosofi Keris Jangkung Mangkunegoro yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini. Untuk informasi lain seputar benda-benda pusaka, dapat dibaca pada artikel Harta Langit lainnya.
Semoga bermanfaat
Terima kasih
Terima kasih
Post a Comment for "Filosofi Keris Jangkung Mangkunegoro"