Ramalan Jongko Joyoboyo tentang masa depan Nusantara
Ilustrasi |
Hartalangit.com – Sri Jayabaya atau Sri Joyoboyo adalah Raja Kediri yang berkuasa sekitar tahun 1135 M hingga 1157 M dengan gelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.
Pada masa pemerintahan Raja Jayabaya, Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan atau masa keemasan. Pada masa tersebut, Panjalu mampu mengalahkan Jenggala dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Pada masa pemerintahan Sri Jayabaya inilah seluruh wilayah Kediri bisa bersatu.
Banyak catatan prasasti yang ditinggalkan pada masa ini, antara lain: Prasasti Hantang (tahun 1135 M), Prasasti Talan (tahun 1136 M), dan Prasasti Jepun (tahun 1144 M). Selain itu juga terdapat karya sastra berupa kakawin Bharatayuddha (tahun 1157 M).
Dalam babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa disebutkan jika Prabu Jayabaya merupakan titisan Dewa Wisnu yang memimpin Negara bernama Widarba dengan ibu kota di Mamenang.
Ayah Raja Jayabaya adalah Gendrayana yang merupakan putra dari Yudayana, putra dari Parikesit, putra dari Abimanyu, putra dari Arjuna dari keluarga Pandawa.
Permaisuri Raja Jayabaya bernama Dewi Sara. Raja Jayabaya diketahui memiliki 4 anak yaitu Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti.
Jayaamijaya menurunkan Raja-Raja di tanah Jawa, bahkan sampai Kerajaan Majapahit dan juga Kerajaan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma Raja dari Yawastina yang kemudian memiliki seorang anak bernama Anglingdarma Raja dari Malawapati.
Dalam pemerintahannya Prabu Jayabaya menerapkan strategi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya. Kerajaan Kediri pada masa itu sangat makmur, baik dari sektor pertanian maupun perdagangan. Secara ekonomi kehidupan rakyat Kediri sangat terjamin pada masa pemerintahan Prabu Jayabara dan kekuasaan Kerajaan Kediri juga meluas hingga seluruh pulau Jawa dan Sumatera.
Prabu Jayabaya turun takhta dengan cara moksa atau hilang tanpa meninggalkan jasad. Sebelum menghilang, konon Prabu Jayabaya bertapa terlebih dahulu di Desa Menang. Setelah itu, mahkota (kuluk) dan juga pakaian kebesarannya dilepas, kemudian Prabu Jayabaya menghilang (moksa).
Prabu Jayabaya sanagt terkenal dengan ramalannya yaitu Jangka Jayabaya/Jongko Joyoboyo tentang masa depan Nusantara yang sebagian ramalannya sudah terbukti kebenarannya di era peradaban modern saat ini. Banyak hal-hal yang disebutkan dalam ramalannya sudah benar-benar terjadi, yang mungkin pada masanya di anggap sebagai suatu hal yang mustahil dan tidak masuk akal.
Isi dari Jangka Jayabaya merupakan sebuah gambaran tentang apa yang sudah terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi nanti, khususnya ditanah Jawa.
Ramalan Jayabaya dipercaya telah ditulis sendiri oleh Prabu Jayabaya. Ramalan ini sangat terkenal dikalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun-temurun oleh para pujangga. Asal-usul Serat Jangka Jayabaya dapat dilihat pada Kitab Musarar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan tentang keasliannya, tapi sangat jelas bunyi pada bait pertama dari Kitab Musarar yang menuliskan bahwasanya Prabu Jayabaya-lah yang membuat ramalan-ramalan tersebut. “Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, musuh takut dan takluk, tak ada yang berani”.
Sebagai seorang Raja dan pujangga, Prabu Jayabaya mampu memandang jauh ke depan dengan mata hati dan perasaannya. Ia meramalkan keadaan tanah Jawa di masa depan yang kacau balau yang disebutnya sebagai “wolak-walik ing zaman”.
Menurut berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, sebagian kalangan sepakat bahwa sumber ramalan Jangka Jayabaya adalah Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Prapen (Sunan Giri ke-3) yang dikumpulkannya pada tahun Saka 1540 atau 1028 Hijriyah atau 1618 Masehi yang hanya selisih 5 tahun dengan selesainya Kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singasari yang ditulis di Pulau Bali pada tahun 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zaman Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613 - 1645 M).
Baca juga: Sejarah Keris Empu Gandring dan berdirinya Kerajaan Singosari
Kitab Jangka Jayabaya atau Jongko Joyoboyo pertama yang dipandang asli adalah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (Pangeran Kadilangu II) yang ditulis pada tahun 1666 - 1668 Jawa atau 1741 - 1743 M.
Beliau adalah seorang pangeran yang memiliki wilayah Perdikan di Kadilangu, dekat dengan Demak. Pangeran Wijil I masih keturunan Sunan Kalijaga, sehingga memungkinkan beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat Prabu Brawijaya ke-V Raja Majapahit terakhir ketika masuk agama Islam. Dalam pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya ke-V dan Penasehat sang baginda bernama Sabda Palon dan Nayagenggong.
Disamping itu beliau juga menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura pada masa Sri Paku Buwana II (1727 - 1749). Hasil karyanya berupa buku-buku atau kitab seperti: Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dan lainnya.
Jongko Joyoboyo yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut “Kitab Asrar” karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga selanjutnya juga menyebut nama baru itu. Kitab Asrar/Musarar memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat Negara Jawa, yaitu gambaran pergantian Negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Kerajaan Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah Kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton”.
Baca juga: Sejarah dan filosofi Keris Kolo Munyeng milik Sunan Giri
Berikut ini adalah sebagian dari isi Kitab Musarar yang merupakan gubahan dari Jongko Joyoboyo:
A. Asmarandana
1. Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
2. Beliau sakti sebab titisan Bhatara Wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi Raja agung, pasukannya Raja-Raja.
3. Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan Raja di Pagedongan. Sangat raharja Negaranya.
4. Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang Raja Pandita dari Rum (Kontantinopel/Istanbul) bernama, Sultan Maolana.
5. Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang Raja Pandita lain bangsa yang pantas dihormati.
6. Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu mengenai Kitab Musarar”.
7. Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian Kerajaanmu akan diganti oleh orang lain. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya karena beliau telah mengerti kehendak Dewata.
8. Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali.
9. Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Ka’bah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah.
10. Senjata Ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke Pulau Jawa membawa Ecis tersebut. Kelak menjadi Punden Tanah Jawa.
11.Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
12. Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
13. Disana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Jayabaya seorang Raja yang berincoknito termasuk titisan Bhatara Wisnu.
14. Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai Raja-Raja karena Sang Prabu menerima sasmita ghaib.
15. Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
16. Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengan endangnya.
17. Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus.
18. Kedelapan endang seorang. Kemudian ki Ajar menghaturkan sembah: “Inilah hidangan kami untuk Sang Prabu”. Sang Prabu waspada kemudian menarik senjata Kerisnya.
19. Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan putra Raja kecewa melihat perbuatan ayahnya.
20. Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian mereka pun pulang. Datang di kedaton, Sang Prabu berbicara dengan putranya.
21. Hai anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda.
Baca juga: Kisah Syekh Subakir menumbal tanah Jawa dengan Rajah Sang Kolo Cokro
B. Sinom
1. Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah Raja-Raja di Pulau Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi (menitis).
2. Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada jaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah lagi. Diberi lambang jaman catur semune segara asat.
3. Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat Raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia di atas Bumi. Menghancurkan keburukan.
4. Setelah 100 tahun musnah keempat Kerajaan tersebut. Kemudian ada jaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.
5. Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada zaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa.
6. Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu Negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata Negara, setelah 100 tahun kemudian musnah.
7. Sebab berperang dengan saudara. Hasil Bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti jaman di Majapahit dengan Rajanya Prabu Brawijaya.
8. Demikian nama Raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil Negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar.
9. Hidangannya jadah satu takir. Lambangnya waktu itu sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti jaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya.
10. Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta Wali dan Pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang. Ternyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
11. Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti jaman Kalajangga. Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah.
12. Negara ini diberi lambang: Cangkrama putung watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti jaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma.
13. Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan Wali serta Pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
14. Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura kalpa semune lintang sinipat.
15. Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang: Kalpa sru kanaka putung. 100 tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
16. Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. Zaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
17. Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi Raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti Raja yang bergelar: Semune kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.
18. Nama Rajanya Lung gadung rara nglikasi (Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita). Kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun nista). Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam Negaranya dan hukum tidak karu-karuan.
19. Waktu itu pajaknya rakyat adalah uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.
20. Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka (Raja-Raja yang saling balas dendam). Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram (Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).
21. Nakhoda (Orang asing) ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu, randa loro nututi pijer tetukar (Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
22. Tidak berkesempatan menghias diri (Raja yang tidak sempat mengatur Negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.
23. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. Orang jahat makin menjadi-jadi. Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan Negara.
24. Hukum dan pengadilan Negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua.
25. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda Negara pecah.
26. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian Raja Kara Murka Kutila musnah.
27. Kemudian kelak akan datang tunjung putih semune Pudak kasungsang (Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di Bumi Mekah (Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi Raja di Dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di Bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
28. Raja keturunan Waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa (Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa/kawruh Jawa). Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang Raja yang terkenal sedunia.
29. Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar, sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan Raja baik sekali. Orangnya tampan, senyumnya manis sekali.
Baca juga: Legenda kesaktian pusaka Bende Mataram dan runtuhnya Kerajaan Pajang
C. Bait-bait lain dari Jongko Joyoboyo:
1. Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran: Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda (mobil).
2. Tanah Jawa kalungan wesi: Pulau Jawa berkalung besi (rel kereta api).
3. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang: Perahu berjalan di angkasa (pesawat terbang).
4. Kali ilang kedhunge: Sungai menjadi dangkal.
5. Pasar ilang kumandhang: Pasar kehilangan suara (mall).
6. Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak: Itulah pertanda zaman Jayabaya sudah dekat.
7. Bumi saya suwe saya mengkeret: Bumi semakin lama semakin mengerut/mengecil (banyak bangunan).
8. Sekilan bumi dipajeki: Sejengkal tanah dikenai pajak.
9. Jaran doyan mangan sambel: Kuda suka makan sambal.
10.Wong wadon nganggo pakeyan lanang — Orang perempuan berpakaian lelaki.
11. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman: Itu pertanda jika orang akan mengalami bolak-baliknya zaman (zaman edan).
12. Akeh janji ora ditetepi: Banyak janji tidak ditepati.
13. Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe: Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
14. Manungsa padha seneng nyalah: Manusia suka berbuat salah.
15. Ora ngendahake hukum Hyang Widhi: Tak peduli akan hukum Hyang Widhi (Tuhan).
16. Barang jahat diangkat-angkat: Yang jahat dijunjung-junjung (diagungkan).
17. Barang suci dibenci: Sesuatu yang suci/baik (justru) dibenci.
18. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit: Banyak orang hanya mementingkan uang.
19. Lali kamanungsan: Lupa dengan kemanusiaan.
20. Lali kabecikan: Lupa dengan kebaikan.
21. Lali sanak lali kadang: Lupa sanak lupa saudara.
22. Akeh bapa lali anak— Banyak ayah lupa anak.
23. Akeh anak wani nglawan ibu— Banyak anak berani melawan ibu.
24. Nantang bapa: Menantang ayah.
25. Sedulur padha cidra: Saudara saling khianat.
26. Kulawarga padha curiga: Keluarga saling curiga.
27. Kanca dadi mungsuh: Kawan menjadi lawan.
28. Akeh manungsa lali asale: Banyak orang lupa asal-usulnya.
29. Ukuman ratu ora adil: Hukuman raja/pemimpin tidak adil.
30. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil: Banyak pejabat jahat dan ganjil.
31. Akeh kelakuan sing ganjil: Banyak kelakuan/perbuatan yang ganjil.
32. Wong apik-apik padha kapencil: Orang yang baik justru tersisih.
33. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin: Banyak orang kerja yang baik/halal justru merasa malu.
34. Luwih utama ngapusi: Lebih mengutamakan menipu.
35. Wegah nyambut gawe: Malas untuk bekerja.
36. Kepingin urip mewah: Inginnya hidup mewah.
37. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka: Mengumbar nafsu angkara murka, lebih banyak berbuat durhaka.
38. Wong bener thenger-thenger: Orang baik termangu-mangu (kesusahan).
39. Wong salah bungah: Orang yang salah gembira ria.
40. Wong apik ditampik-tampik: Orang baik ditolak.
41. Wong jahat munggah pangkat: Orang jahat naik pangkat.
42. Wong agung kasinggung: Orang mulia dilecehkan.
43. Wong ala kapuja: Orang jahat dipuji-puji.
44. Wong wadon ilang kawirangane: Perempuan hilang malunya.
45. Wong lanang ilang kaprawirane: Laki-laki hilang harga dirinya.
46. Akeh wong lanang ora duwe bojo: Banyak laki-laki tidak punya istri.
47. Akeh wong wadon ora setya marang bojone: Banyak perempuan tidak setia pada suaminya.
48. Akeh biyung padha ngedol anake: Banyak ibu menjual anaknya.
49. Akeh wong wadon ngedol awake: Banyak perempuan menjual diri.
50. Akeh wong ijol bebojo: Banyak orang bertukar istri/suami.
51. Wong wadon nunggang jaran: Perempuan menunggang kuda (melanggar kodratnya karena menjadi kepala keluarga).
52. Wong lanang linggih plangki: Laki-laki naik tandu (pemalas).
53. Randha seuang loro: Dua janda seharga seuang (8,5 sen/murah).
54. Prawan seaga lima: Lima perawan seharga lima picis (murah).
55. Dhudha pincang laku sembilan uang: Duda pincang laku sembilan uang (asal kaya walaupun cacat/jelek tetap laku).
56. Akeh wong ngedol ngelmu: Banyak orang menjual ilmu.
57. Akeh wong ngaku-aku: Banyak orang mengaku diri (kampanye).
58. Njabane putih njerone dhadhu: Di luar putih di dalam jingga.
59. Ngakune suci, nanging sucine palsu: Mengaku suci, tapi sucinya palsu.
60. Akeh bujuk akeh lojo: Banyak tipu banyak muslihat.
61. Akeh udan salah mangsa: Banyak hujan salah musim.
62. Akeh prawan tuwa: Banyak perawan tua.
63. Akeh randha nglairake anak: Banyak janda melahirkan anak (diluar nikah).
64. Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne: Banyak anak lahir mencari bapaknya.
65. Agomo akeh sing nantan: Agama banyak ditentang.
66. Prikamanungsan saya ilang: Perikemanusiaan semakin hilang.
67. Omah suci dibenci: Rumah suci (tempat ibadah) dijauhi.
68. Omah ala saya dipuja: Rumah/tempat maksiat semakin dipuja.
69. Wong wadon lacur ing ngendi-endi: Perempuan menjual diri dimana-mana.
70. Akeh laknat: Banyak kutukan.
71. Akeh pengkianat: Banyak pengkhianat.
72. Anak mangan bapak: Anak durhaka kepada bapaknya.
73. Sedulur mangan sedulur: Saudara makan (menindas) saudara.
74. Kanca dadi mungsuh: Kawan menjadi lawan.
75. Guru disatru: Guru dimusuhi.
76. Tangga padha curiga: Tetangga saling curiga.
77. Kana-kene saya angkara murka: Angkara murka dimana-mana.
78. Sing weruh kebubuhan: Barangsiapa tahu terkena beban.
79. Sing ora weruh ketutuh: Yang tidak tahu disalahkan.
80. Besuk yen ana peperangan: Kelak jika terjadi perang.
81. Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor: Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
82. Akeh wong becik saya sengsara: Banyak orang baik semakin sengsara.
83. Wong jahat saya seneng: Orang yang jahat semakin bahagia.
84. Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul: Ketika itu banyak burung gagak dikatakan bangau.
85. Wong salah dianggep bener: Orang salah dianggap benar.
86. Pengkhianat nikmat: Pengkhianat bahagia.
87. Durjana saya sempurna: Durjana semakin sempurna.
88. Wong jahat munggah pangkat: Orang jahat naik pangkat.
89. Wong lugu kebelenggu: Orang yang lugu terbelenggu.
90. Wong mulya dikunjara: Orang yang mulia dipenjara.
91. Sing curang garang: Yang curang berkuasa.
92. Sing jujur kojur: Yang jujur sengsara.
93. Pedagang akeh sing keplarang: Pedagang banyak yang tenggelam.
94. Wong main akeh sing ndadi: Penjudi banyak merajalela.
95. Akeh barang haram: Banyak barang haram.
96. Akeh anak haram: Banyak anak haram.
97. Wong wadon nglamar wong lanang: Perempuan melamar laki-laki.
98. Wong lanang ngasorake drajate dhewe: Laki-laki merendahkan derajatnya sendiri.
99. Akeh barang-barang mlebu luang: Banyak barang-barang yang terbuang.
100. Akeh wong kaliren lan wuda: Banyak orang lapar dan telanjang.
101. Wong tuku ngglenik sing dodol: Pembeli merayu penjual.
102. Sing dodol akal okol: Si penjual bermain siasat.
103. Wong golek pangan kaya gabah diinteri: Orang mencari rezeki ibarat gabah ditampi.
104. Sing kebat kliwat: Yang tangkas lepas.
105. Sing telah sambat: Yang terlanjur menggerutu.
106. Sing gedhe kesasar: Yang besar tersasar.
107. Sing cilik kepleset: Yang kecil terpeleset.
108. Sing anggak ketunggak: Yang congkak terbentur.
109. Sing wedi mati: Yang takut mati.
110. Sing nekat mbrekat: Yang nekat mendapat berkat.
111. Sing jerih ketindhih: Yang kecil hati tertindih.
112. Sing ngawur makmur: Yang ngawur makmur.
113. Sing ngati-ati ngrintih: Yang berhati-hati merintih.
114. Sing ngedan keduman: Yang main gila menerima bagian.
115. Sing waras nggagas: Yang waras nelangsa.
116. Wong tani ditaleni—Petani seperti diikat (serba susah).
117. Wong dora ura-ura: Orang yang berbohong hura-hura.
118. Ratu ora netepi janji, musna panguwasane: Raja/pemimpin ingkar janji, hilang kekuasaannya.
119. Bupati dadi rakyat: Pejabat menjadi rakyat.
120. Wong cilik dadi priyayi: Rakyat kecil jadi priyayi.
121. Sing mendele dadi gedhe: Yang curang jadi besar.
122. Sing jujur kojur: Yang jujur celaka.
123. Akeh omah ing ndhuwur jaran: Banyak rumah dipunggung kuda.
124. Wong mangan wong: Orang makan sesamanya.
125. Anak lali bapak: Anak lupa bapak.
126. Wong tuwa lali tuwane: Orang tua lupa umurnya.
127. Pedagang adol barang saya laris: Jualan pedagang semakin laris.
128. Bandhane saya ludhes: Hartanya semakin habis.
129. Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan: Banyak orang mati kelaparan di samping makanan.
130. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara: Banyak orang berlimpah harta tapi hidup sengsara.
131. Sing edan bisa dandan: Yang gila bisa bersolek.
132. Sing bengkong bisa nggalang gedhong: Yang bengkok/menyimpang bisa membangun rumah mewah.
133. Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil: Orang yang waras dan adil hidupnya merana dan tersisih.
134. Ana peperangan ing njero: Ada perang di dalam.
135. Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham: Terjadi karena para pembesar banyak yang salah faham.
136. Durjana saya ngambra-ambra: Kejahatan makin merajalela.
137. Penjahat saya tambah: Penjahat semakin banyak.
138. Wong apik saya sengsara: Orang baik semakin sengsara.
139. Akeh wong mati jalaran saka peperangan: Banyak orang mati karena peperangan.
140. Kebingungan lan kobongan: Karena bingung dan kebakaran.
141. Wong bener saya thenger-thenger: Orang benar semakin tertegun.
142. Wong salah saya bungah-bungah: Orang salah semakin berbahagia.
143. Akeh bandha musna ora karuan lungane: Banyak harta hilang tidak tahu rimbanya.
144. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe: Banyak pangkat dan derajat lenyap tidak tahu sebabnya.
145. Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram: Banyak barang-barang haram, banyak anak haram.
146. Bejane sing lali, bejane sing eling: Beruntunglah yang lupa, beruntunglah yang sadar.
147. Nanging sauntung-untunge sing lali: Tapi seuntung-untungnya yang lupa.
148. Isih untung sing waspada: Masih lebih beruntung yang waspada.
149. Angkara murka saya ndadi: Angkara murka semakin menjadi.
150. Kana-kene saya bingung: Disana-sini semakin bingung.
151. Pedagang akeh alangane: Pedagang banyak rintangannya.
152. Akeh buruh nantang juragan: Banyak buruh melawan majikan.
153. Juragan dadi umpan: Majikan menjadi umpan.
154. Sing suwarane seru oleh pengaruh: Yang bersuara keras (vokal) mendapat pengaruh.
155. Wong pinter diingar-ingar: Yang pandai diganggu.
156. Wong ala diuja_ Yang tidak baik dimanjakan.
157. Wong ngerti mangan ati: Orang yang tahu makan hati.
158. Bandha dadi memala: Harta benda menjadi bencana.
159. Pangkat dadi pemikat: Pangkat/jabatan menjadi pemukau.
160. Sing sawenang-wenang rumangsa menang: Yang sewenang-wenang merasa menang.
161. Sing ngalah rumangsa kabeh salah: Yang mengalah merasa serba salah.
162. Ana bupati saka wong sing asor imane: Ada bupati/pejabat dari orang beriman rendah.
163. Patihe kepala judhi: Wakilnya bandar judi.
164. Wong sing atine suci dibenci: Orang yang hatinya suci dibenci.
165. Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat: Orang yang jahat dan pandai menjilat semakin naik derajatnya.
166. Pemerasan saya ndadra: Pemerasan semakin merajalela.
167. Maling lungguh wetenge mblenduk: Pencuri (koruptor) duduk perutnya semakin gendut.
168. Pitik angrem saduwure pikulan: Ayam mengeram di atas pikulan.
169. Maling wani nantang sing duwe omah: Pencuri berani menantang yang punya rumah.
170. Begal pada ndhugal: Begal semakin kurang ajar.
171. Rampok padha keplok-keplok: Perampok bersorak-sorak.
172. Wong momong mitenah sing diemong: Orang yang mengasuh memfitnah yang diasuh.
173. Wong jaga nyolong sing dijaga: Orang yang menjaga mencuri yang dijaga.
174. Wong njamin njaluk dijamin: Orang menjamin minta dijamin.
175. Akeh wong mendem donga: Banyak orang mabuk doa.
176. Kana-kene rebutan unggul: Di mana-mana berebut menang.
177. Angkara murka ngombro-ombro: Angkara murka menjadi-jadi.
178. Agama ditantang: Agama ditantang.
179. Akeh wong angkara murka: Banyak orang berbuat angkara murka.
180. Nggedhekake duraka: Membesar-besarkan durhaka.
181. Ukum agama dilanggar: Hukum agama dilanggar.
182. Prikamanungsan di iles-iles: Perikemanusiaan diinjak-injak.
183. Kasusilan ditinggal: Tata susila ditinggalkan.
184. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi: Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
185. Wong cilik akeh sing kepencil: Rakyat kecil banyak yang tersingkir.
186. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil: Karena menjadi kurban si jahat yang laknat.
187. Banjur ana ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit: Lalu ada raja/pemimpin berpengaruh dan punya prajurit (kekuatan).
188. Negarane ambane saprawolon: Lebar negaranya seperdelapan dunia.
189. Tukang mangan suap saya ndadra: Pemakan suap semakin merajalela.
190. Wong jahat ditampa: Orang jahat diterima.
191. Wong suci dibenci: Orang suci dibenci.
192. Timah dianggep perak: Timah dianggap perak.
193. Emas diarani tembaga: Emas dibilang tembaga.
194. Dandang dikandakake kuntul: Gagak disebut bangau.
195. Wong dosa sentosa: Orang berdosa sentosa.
196. Wong cilik disalahake: Rakyat kecil disalahkan.
197. Wong nganggur kesungkur: Pengangguran tersungkur.
198. Wong sregep krungkep: Orang yang tekun terjerembab.
199. Wong nyengit kesengit: Orang culas dibenci.
200. Buruh mangluh: Buruh mengeliuh.
201. Wong sugih krasa wedi: Orang kaya merasa takut.
202. Wong wedi dadi priyayi: Orang takut jadi priyayi.
203. Senenge wong jahat: Bahagianya orang jahat.
204. Susahe wong cilik: Susahnya orang kecil.
205. Akeh wong dakwa dinakwa: Banyak orang saling tuduh.
206. Tindake manungsa saya kuciwa: Ulah manusia semakin tercela.
207. Ratu karo ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi: Para raja/pemimpin berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
208. Wong Jawa kari separo: Orang Jawa tinggal setengah.
209. Landa-Cina kari sejodho: Belanda-Cina tinggal sepasang.
210. Akeh wong ijir, akeh wong cethil: Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
211. Sing eman ora keduman: Yang hemat tidak mendapat bagian.
212. Sing keduman ora eman: Yang mendapat bagian tidak berhemat.
213. Akeh wong mbambung: Banyak orang berulah dungu.
214. Akeh wong limbung: Banyak orang linglung (kosong pikiran).
215. Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teko: Lambat laun nanti bolak-baliknya zaman akan datang.
Selain yang telah disebutkan di atas, Prabu Jayabaya pada akhirnya membagi zaman menjadi tiga masa, yaitu yang sudah, sedang dan akan terjadi nanti, khususnya di Nusantara. Lama waktunya yaitu 2.100 tahun matahari (1 tahun matahari = ± 10,3 tahun kita sekarang). Ramalannya itu lalu menjadi Tri-takali, yaitu:
1. Zaman permulaan yang disebut KALI-SWARA
Lamanya 700 tahun matahari (721 tahun). Pada zaman ini di Jawa banyak terdengar suara alam, gara-gara geger, halintar, petir, serta banyak kejadian-kejadian yang ajaib dikarenakan banyak Manusia menjadi Dewa dan Dewa banyak yang turun ke Bumi menjadi Manusia.
2. Zaman pertengahan yang disebut KALI-YUGA
Pada zaman ini banyak perubahan pada Bumi, Bumi belah menyebabkan munculnya pulau-pulau kecil, banyak mahluk yang salah jalan, karena orang yang mati banyak menjelma (nitis).
3. Zaman akhir yang disebut KALI-SANGARA
Lamanya 700 tahun. Pada zaman ini banyak hujan salah mangsa (pergantian musim tidak teratur) dan banyak sungai atau bengawan bergeser, Bumi kurang manfaatnya, menghambat datangnya kebahagian, mengurangi rasa-terima, sebab Manusia yang mati banyak yang tetap memegang ilmunya.
Tiga zaman tersebut lalu masing-masing dibagi lagi menjadi SAPTAMA-KALA, artinya zaman kecil-kecil. Tiap zaman rata-rata berumur 100 tahun matahari (103 tahun bulan). Seperti berikut ini:
I. ZAMAN KALI-SWARA, dibagi menjadi:
1. Kala-kukila 100 th, (th. 1 - 100): Hidupnya orang seperti burung, berebutan mana yang kuat dia yang menang, belum ada Raja, jadi belum ada yang mengatur/memerintah.
2. Kala-buddha (th. 101 - 200): Permulaan orang Jawa masuk agama Buddha menurut syariat Hyang Jagadnata (Bhatara Guru).
3. Kala-brawa (th. 201 - 300): Orang-orang di Jawa mengatur ibadahnya kepada Dewa, sebab banyak Dewa yang turun ke Bumi menyiarkan ilmu.
4. Kala-tirta (th. 301 - 400): Banjir besar, air laut menggenang daratan, di sepanjang air itu Bumi menjadi belah dua. Yang sebelah barat disebut pulau Sumatra, lalu banyak muncul sumber-sumber air, disebut umbul, sedang, telaga, dan sebagainya.
5. Kala-swabara (th. 401 - 500): Banyak keajaiban yang tampak atau menimpa diri Manusia.
6. Kala-rebawa (th. 501 - 600): Orang Jawa mengadakan keramaiana seperti pagelaran kesenian, dan lainnya.
7. Kala-purwa (th. 601 - 700): Banyak tumbuh keturunan orang-orang besar yang sudah menjadi orang biasa mulai jadi orang besar lagi.
II. ZAMAN KALI-YUGA, dibagi menjadi:
1. Kala-brata (th. 701 - 800): Orang mengalami hidup sebagai fakir.
2. Kala-drawa (th. 801 - 900): Banyak orang mendapat ilham, orang pandai menerangkan hal-hal yang ghaib.
3. Kala-dwawara (th. 901 - 1.000): Banyak kejadian yang mustahil.
4. Kala-praniti (th. 1.001 - 1.101): Banyak orang mementingkan ulah pikir.
5. Kala-teteka (th. 1.101 - 1.200): Banyak orang datang dari negeri-negeri lain.
6. Kala-wisesa (th. 1.201 - 1.300): Banyak orang yang terhukum.
7. Kala-wisaya (th. 1.301 - 1.400): Banyak orang memfitnah.
III. ZAMAN KALI-SANGARA, dibagi menjadi:
1. Kala-jangga (th. 1.401 - 1.500): Banyak orang ulah kehebatan.
2. Kala-sakti (th. 1.501 - 1.600): Banyak orang ulah kesaktian.
3. Kala-jaya (th. 1.601 - 1.700): Banyak orang ulah kekuatan untuk tulang punggung kehidupannya.
4. Kala-bendu (th. 1.701 - 1.800): Banyak orang senang berbantahan, akhirnya bentrokkan.
5. Kala-suba (th. 1.801 - 1.900 ): Pulau Jawa mulai sejahtera, tanpa kesulitan, orang bersenang hati.
6. Kala-sumbaga (th. 1.901 - 2.000): Banyak orang tersohor pandai dan hebat.
7. Kala-surasa (th. 2.001 - 2.100): Pulau Jawa ramai sejahtera, serba teratur, tidak ada kesulitan, banyak orang ulah asmara.
Baca juga: Pusaka-pusaka ampuh peninggalan Kerajaan Majapahit
Demikian sedikit informasi tentang ramalan Jongko Joyoboyo tentang masa depan Nusantara yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini. Untuk informasi lain seputar sejarah dan benda-benda pusaka, dapat dibaca pada artikel Harta Langit lainnya.
Semoga bermanfaat
Terima kasih
Post a Comment for "Ramalan Jongko Joyoboyo tentang masa depan Nusantara"