Sejarah dan Mitos Patung Loro Blonyo
Ilustrasi Patung Loro Blonyo |
Pada jaman dahulu, patung Loro Blonyo selalu ditempatkan di senthong tengah rumah tradisional Jawa (rumah joglo) sebagai simbol kesuburan, kemakmuran dan keharmonisan.
Menurut catatan sejarah, patung Loro Blonyo sudah ada sejak jaman Kerajaan Mataram Islam pada masa kepemimpinan Sultan Agung (1476).
Baca juga: Legenda kesaktian Bende Mataram dan runtuhnya Kerajaan Pajang
Awal mula kepemilikan patung Loro Blonyo berkaitan erat dengan kultur dan budaya. Pada jaman dahulu hanya kaum bangsawan dan priyayi saja yang memiliki patung ini.
Dalam rumah joglo, patung Loro Blonyo akan diletakkan di senthong atau bagian tengah rumah yang dianggap sebagai wilayah pribadi suami dan istri.
Patung Loro Blonyo merupakan salah satu kelengkapan dari unsur-unsur lainnya yang biasa ditempatkan diruang senthong tengah yang dianggap sakral sebagai sarana untuk melakukan kegiatan ritual adat Jawa.
Nilai filosofi patung Loro Blonyo merupakan ekspresi simbolisme dari mitos Dewi Sri dan Raden Sadono dalam tradisi kepercayaan masyarakat Jawa yang berhubungan dengan ritual kesuburan dalam tradisi masyarakat Jawa.
Keterkaitan ritual kesuburan dengan Dewi Sri dan Raden Sadono sangat dipengaruhi oleh mitologi dan kosmologi Jawa, dimana keberadaan Dewi Sri dan Raden Sadono dalam cara pandang orang Jawa diyakini sebagai konstruksi pemahaman asal-usul Manusia yang harus dihormati sebagai leluhur Jawa.
Kesuburan merupakan ritual sistem kepercayaan Jawa yang diyakini berasal dari bersatunya pasangan yang kemudian mendatangkan dampak kemakmuran dan kesejahteraan dalam kehidupan.
Figur patung Loro Blonyo tersebut dalam kepercayaan masyarakat Jawa merupakan kelengkapan ritual yang selalu diletakkan di senthong tengah rumah tradisional Joglo milik bangsawan atau priyayi Jawa.
Makna patung Loro Blonyo lebih merupakan sebagai pasangan oposisi binair yang saling melengkapi satu sama lain atau dwi-tunggal. Dalam konteks pandangan Jawa, sepasang patung yang menggambarkan sepasang pengantin tersebut merupakan simbol penyatuan yang mendatangkan kesuburan dan kemakmuran, yaitu kesuburan dalam arti reproduksi biologis pada Manusia dan juga kesuburan pada tanaman.
Dengan demikian, makna dari patung Loro Blonyo dalam budaya Jawa lebih bersifat interpretasi simbolik bagi masyarakat terutama kalangan agraris.
Konsep ritual yang merupakan bentuk penghormatan kepada Yang Widi dengan memberikan sesaji sebagai persembahan yang dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur atas segala berkah yang diterima.
Mitos Dewi Sri dan Raden Sadono yang tercermin dalam simbolisme patung Loro Blonyo merupakan salah satu kelengkapan ritual kesuburan yang ditempatkan di senthong tengah yang merupakan area sakral didalam rumah joglo.
Terdapat beberapa makna dan mitos pada patung Loro Blonyo. Loro Blonyo bisa diartikan sebagai simbol kemakmuran yang berkesinambungan atau terus-menerus.
Masyarakat Jawa jaman dahulu percaya bahwa dengan meletakkan patung Loro Blonyo didalam rumah dapat memberikan pengaruh atau sugesti postif terhadap keluarga. Pengakuan dari beberapa pasangan yang memiliki patung Loro Blonyo ternyata bisa merasakan sugesti positif terhadap kehidupan rumah tangganya.
Tapi saat ini patung Loro Blonyo tidak lagi dianggap sebagai sarana ritual karena patung ini lebih di anggap sebagai benda seni yang tidak hanya dinikmati oleh masyarakat lokal saja tapi juga disukai oleh turis mancanegara.
Patung Loro Blonyo merupakan penggambaran dari pasangan Dewi Sri dan Raden Sadono yang dikaitkan dengan asal mula terciptanya tanaman padi yang merupakan bahan pangan utama (makanan pokok) masyarakat Jawa.
Masyarakat tradisional Jawa, terutama penganut ajaran Kejawen memiliki tempat khusus ditengah rumah yang dikhususkan untuk Dewi Sri yang disebut Pasrean (tempat Dewi Sri) dengan harapan agar mendapatkan kemakmuran.
Tempat khusus ini dihiasi dengan ukiran ular dan patung Loro Blonyo, kadang-kadang juga dilengkapi dengan peralatan pertanian seperti ani-ani atau arit kecil dan sejumput padi. Pada waktu-waktu tertentu ditempat khusus tersebut juga sering diberi sesajen sebagai persembahan untuk Dewi Sri.
Patung Loro Blonyo dianggap sebagai perwujudan dari Dewi Sri dan Sadono atau Kamaratih dan Kamajaya yang merupakan lambang kesuburan, kemakmuran dan keharmonisan rumah tangga.
Baca juga: Filosofi Keris Tilam Upih yang melambangkan ketentraman rumah tangga
Berikut ini salah satu versi cerita legenda Dewi Sri dan Raden Sadono:
Prabu Sri Mahapunggung atau Bathara Srigati adalah Raja dari Kerajaan Medang Kamulan. Dia adalah putra dari Sang Hyang Wisnu dan Dewi Sri Sekar yang juga dikenal sebagai Bathari Sri Widowati, seorang Dewi yang diutus ke bumi untuk menjaga kelestarian alam semesta.
Prabu Sri Mahapunggung memiliki seorang putri bernama Dewi Sri yang berparas cantik jelita dan berhati baik. Dewi Sri adalah seorang putri yang cerdas, lemah lembut, sabar, dan halus tutur katanya.
Dewi Sri memiliki tiga orang adik kandung yaitu Sadono, Wandu, dan Oya. Pada suatu ketika, Sadono diminta oleh ayah dan ibunya untuk menikah dengan seorang putri bernama Dewi Panitra, cucu dari Eyang Pancareshi, tapi Sadono menolak dengan alasan tidak ingin mendahului kakaknya (Dewi Sri) karena seorang adik tidak boleh mendahului kakaknya untuk menikah. Jika hal itu dilakukan bisa menyebabkan datangnya bencana atau kesulitan dikemudian hari.
Sang Prabu Sri Mahapunggung berusaha untuk membujuk Raden Sadono dengan segala cara, tapi Sadono tetap bersikeras menolak perjodohan itu.
Sang Prabu Sri Mahapunggung hilang kesabarannya, ia marah karena Sadono tidak patuh pada kehendaknya dan terjadilah pertengkaran antara ayah dan anak. Entah apa yang terjadi jika Permaisuri tidak datang melerai dan meredam kemarahan Baginda Raja.
Pada malam harinya Sadono merasa gundah dan tidak bisa tidur, pikirannya kacau, hatinya sedih dan bingung. Baginya, perjodohan yang dikehendaki oleh ayahandanya itu tidak sejalan dengan prinsip hidupnya.
Akhirnya pada tengah malam saat semua orang sudah tidur, Sadono pergi meninggalkan istana. Keesokan harinya, ketika sang Prabu Sri Mahapunggung mengetahui Sadono pergi, dia kembali marah dan Dewi Sri menjadi sasaran kemarahannya karena di anggap sebagai penyebab perginya Sadono dari istana.
Tuduhan itu tentu saja membuat hati Dewi Sri sedih dan merasa serba salah hidup di istana. Akhirnya Dewi Sri pergi diam-diam dari istana.
Perginya Dewi Sri dari istana membuat Prabu Sri Mahapunggung marah besar sampai lupa diri, dan mengutuk Dewi Sri menjadi ular sawah, sedangkan Sadono dikutuk menjadi burung sriti atau walet.
Dewi Sri yang telah berubah menjadi ular sawah berjalan ke arah timur tanpa tujuan yang pasti, sedangkan Sadono yang sudah berubah menjadi burung sriti terbang tanpa arah dan tujuan.
Baca juga: Mitos Perkutut Katuranggan Sriwiti
Suatu ketika, ular sawah penjelmaan Dewi Sri tiba di Dusun Wasutira dalam keadaan kelelahan, maka ia segera mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat. Akhirnnya ia menemukan sebuah lumbung padi milik seorang penduduk yang bernama Kyai Brikhu. Ular Sawah itu kemudian tidur melingkar di atas tumpukan padi didalam lumbung.
Kyai Brikhu memiliki seorang istri bernama Ken Sanggi yang sedang mengandung anak pertamanya. Pada malam harinya, Kyai Brikhu mendapatkan petunjuk dalam mimpinya, bahwa bayi yang ada dalam kandungan istrinya itu adalah titisan dari Dewi Tiksnawati. Kelak di kemudian hari, setelah bayi itu lahir akan dijaga oleh seekor ular sawah, dan jika ular sawah itu mati, maka bayinya juga akan mati.
Ketika terbangun dari mimpinya, Kyai Brikhu bergumam: "Oh, alangkah bahagianya hidupku jika mimpiku kelak menjadi kenyataan. Aku berjanji akan menjaga dan merawat ular sawah itu".
Pada hari itu, karena persediaan beras untuk makan sehari-hari sudah habis, akhirnya Kyai Brikhu mengambil padi di lumbungnya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat ada seekor ular sawah melingkar di atas tumpukan padinya. Kyai Brikhu langsung teringat pada mimpinya.
"Mungkin ular inilah yang akan menjadi penjaga anakku nanti". gumam Kyai Brikhu.
Kyai Brikhu akhirnya merawat ular sawah itu dengan baik. Ketika istrinya telah melahirkan seorang bayi perempuan, ia kemudian meletakkan ular sawah itu didekat bayinya yang berada dikamar tengah. Ular sawah jelmaan Dewi Sri itupun langsung melingkarkan tubuhnya mengelilingi si bayi, seolah sedang melindungi bayi itu.
Sejak saat itulah, Kyai Brikhu bersama istrinya merawat anak mereka bersama ular sawah dengan sepenuh hati. Setiap hari, mereka memberi makan ular itu dengan katak.
Tapi pada suatu malam, Kyai Brikhu kembali bermimpi. Dalam mimpinya, ular sawah itu menolak diberi makan katak. Ular itu minta diberi sesajen berupa sedah ayu, yaitu sirih beserta perlengkapannya, bunga, dan lampu yang harus selalu dinyalakan. Ketika terbangun, Kyai Brikhu langsung menyiapkan sesaji sebagaimana permintaan ular sawah itu.
Sementara itu, Dewi Tiksnawati yang menitis pada tubuh anak Kyai Brikhu membuat huru-hara di Kahyangan, tempat kediaman para Dewa. Hal itu membuat Sang Hyang Jagadnata atau Batara Guru murka. Lalu ia memerintahkan kepada para Dewa turun ke Bumi untuk memberikan bencana pada bayi titisan Dewi Tiksnawati.
Para Dewa segera turun ke bumi, akan tetapi usaha mereka untuk memberi bencana pada sang bayi gagal karena pengaruh tolak bala dari Kyai Brikhu dan ular sawah. Berkali-kali para Dewa berusaha melakukannya tapi tetap tidak berhasil.
Akhirnya para Dewa dan Batara Guru mengetahui bahwa kegagalan mereka untuk memberikan bencana pada bayi titisan Dewi Tiksnawati disebabkan karena ada Dewi Sri yang selalu melindungi bayi itu. Batara Guru segera memerintahkan para Bidadari turun ke Bumi untuk membujuk Dewi Sri agar mau menjadi Bidadari di Kahyangan.
"Wahai Dewi Sri, kami diutus oleh Batara Guru untuk memintamu ke Kahyangan. Kamu akan dijadikan Bidadari untuk melengkapi kami para Bidadari yang ada di Kahyangan". Bujuk salah seorang Bidadari.
"Wahai para Bidadari, saya bersedia menerima permintaan Batara Guru tapi dengan satu syarat, saya mohon agar adik saya Sadono yang telah dikutuk menjadi burung sriti dikembalikan lagi wujudnya menjadi Manusia". Pinta Dewi Sri.
Para Bidadari menyanggupi permintaan Dewi Sri, tapi ketika mereka hendak memenuhi permintaan tersebut, ternyata Sadono telah dikembalikan menjadi Manusia oleh Begawan Brahmana Maharesi, putra Sang Hyang Brahma. Bahkan, Sadono telah dinikahkan dengan seorang putri bernama Dewi Laksmitawahni. Kelak jika mereka telah memiliki putra, maka Sadono akan diangkat menjadi Dewa.
Berita tentang Sadono kemudian disampaikan kepada Dewi Sri. Tentu saja Dewi Sri menyambutnya dengan perasaan bahagia karena keinginannya telah terkabulkan. Akhirnya Dewi Sri yang berwujud ular sawah itu dikembalikan ke wujud aslinya oleh para Bidadari sebagai seorang gadis yang cantik jelita.
Sementara itu, ketika Kyai Brikhu hendak melihat anaknya dikamar, ia sangat terkejut karena ular sawah yang menjaga bayinya telah lenyap dan berganti seorang gadis cantik yang sedang duduk di samping bayinya.
"Cah ayu, kamu ini siapa dan mengapa ada disini? tanya Kyai Brikhu heran.
Dewi Sri segera memperkenalkan dirinya dan menceritakan peristiwa yang terjadi bahwa dirinya adalah putri Prabu Mahapunggung dari Kerajaan Medang Kamulan.
Teringat akan janjinya, Dewi Sri segera mohon pamit pada Kyai Brikhu untuk selanjutnya menuju ke Kahyangan menjadi Dewi. Sebelum pergi, ia tidak lupa berterima kasih dan berpesan kepada Kyai Brikhu, agar sandang dan pangan keluarganya selalu tercukupi, jangan lupa untuk memberikan sesajen yang diletakkan di ruang tengah rumahnya.
Usai berpesan, Dewi Sri lenyap dari pandangan mata Kyai Brikhu. Sepeninggal Dewi Sri, Kyai Brikhu segera menyediakan sesajen diruang tengah rumahnya. Sejak saat itulah Kyai Brikhu selalu menyimpan atau memajang gambar ular dikamar tengah rumahnya sebagai perlambangan sosok Dewi Sri yang telah memberikan kemakmuran dan kesuburan dalam kehidupannya.
Tidak hanya itu, Kyai Brikhu juga percaya, jika ada ular masuk ke dalam rumahnya, itu pertanda jika sawahnya akan memberikan hasil panen yang melimpah. Dari situlah awal mula diletakkannya patung Loro Blonyo disenthong tengah rumah joglo dan larangan untuk mengusir atau membunuh ular yang memasuki rumah oleh kalangan petani di Jawa pada jaman dulu.
Ular sawah dan burung sriti merupakan simbolisasi pesan dari para leluhur untuk selalu menjaga keselarasan dengan alam, terutama bagi para petani karena ular sawah memiliki peranan penting dalam mengendalikan hama tikus disawah dan rombongan burung sriti yang sering terbang berkeliling di atas sawah untuk mencari nakan juga memiliki peran cukup penting dalam menekan populasi serannga yang menjadi hama padi.
Baca juga: Tuah pusaka pamor Singkir untuk menangkal hama dan wabah penyakit
Demikian sedikit informasi tentang sejarah dan mitos patung Loro Blonyo yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini. Untuk informasi lain seputar dunia spiritual dan supranatural, dapat dibaca pada artikel Harta Langit lainnya.
Semoga bermanfaat
Terima kasih
Post a Comment for "Sejarah dan Mitos Patung Loro Blonyo"