Mengenal Aliran Kejawen, Abangan dan Putihan
Hartalangit.com – Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat dimana keberadaanya ada sejak orang Jawa ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan kepercayaan lain (Agama).
Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun inti ajarannya adalah spiritual. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang di anut karena filsafat Kejawen dilandaskan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.
Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan TUHAN sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengingatkan Manusia pada Sangkan Paraning Dumadi (dari mana datang dan kembalinya hamba TUHAN) dan membentuk Manusia agar bisa mengenal dan menyatu dengan TUHAN, yaitu Manunggaling Kawula lan Gusthi (Bersatunya hamba dan TUHAN).
Baca juga: Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti
Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:
- Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
- Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
- Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama Manusia)
- Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)
Berbeda dengan kaum Abangan, kaum Kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya, namun tetap menjaga jati dirinya sebagai orang pribumi. Karena ajaran filsafat Kejawen memang mendorong Manusia untuk taat kepada TUHAN.
Jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat Kejawen menurut agama yang dianut, seperti: Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan ajaran agamanya.
Kata “Kejawen” berasal dari kata “Jawa” yang artinya “segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)”.
Penamaan “Kejawen” bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu, terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia).
Kejawen sebagai agama dikembangkan oleh pemeluk Agama Kapitayan, jadi sangat tidak arif jika mengatasnamakan Kejawen sebagai agama dimana semua agama yang dianut oleh orang Jawa memiliki sifat-sifat Kejawaan yang kental.
Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi masyarakat Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualitas. Laku olah sepiritualis Kejawen yang utama adalah Poso (Puasa) dan Topo (Bertapa).
Penganut ajaran Kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang di iringi dengan sejumlah laku (mirip dengan ibadah).
Ajaran Kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep “keseimbangan”.
Konsep Kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut Kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin.
Simbol-simbol “laku” berupa perangkat adat asli Jawa seperti Keris, Wayang, Mantra, penggunaan sesaji-sesaji tertentu yang memiliki makna simbolik dan lain sebagainya.
Simbol-simbol tersebut menampakkan kewingitan (aura magis) sehingga banyak orang termasuk penghayat Kejawen sendiri yang dengan mudah memanfaatkan ajaran Kejawen dengan praktek klenik dan perdukunan, padahal sesungguhnya hal itu tidak pernah ada dalam ajaran filsafat Kejawen.
Baca juga: Makna Sembahyang dalam ajaran Kejawen
Ajaran Kejawen cenderung bervariasi dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen.
Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.
Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya serta mempercayai ajaran-ajaran Kejawen yang tertuang didalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat).
Kesemuanya itu merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama, yaitu Tata Krama (aturan hidup yang luhur) untuk membentuk orang Jawa yang Hanjawani (memiliki akhlak terpuji), hal itu terutama banyak tertuang didalam karya tulis, seperti:
- Kakawin (Sastra Kuno)
Kakawin merupakan kitab sastra metrum kuno (lama) yang berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan dan ditulis menggunakan aksara Jawa kuno serta berbahasa Jawa kuno.
- Babad (Catatan sejarah)
Babat merupakan kitab yang menceritakan sejarah Nusantara yang ditulis menggunakan aksara Jawa kuno dan berbahasa Jawa kuno.
- Serat (Sastra baru)
Serat merupakan kitab sastra metrum anyar (baru) yang berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan. Serat ditulis menggunakan aksara Jawa dan berbahasa Jawa, tapi ada beberapa yang ditulis menggunakan huruf Pegon.
- Suluk (Jalan spiritual)
Suluk merupakan kitab yang berisi tata cara untuk menempuh jalan spiritual guna membentuk pribadi Hanjawani. Suluk ditulis menggunakan aksara Jawa dan berbahasa Jawa tapi ada beberapa yang ditulis menggunakan huruf Pegon.
- Kidungan (Doa-Doa)
Kidungan merupakan sekumpulan doa-doa atau mantra-mantra yang dibaca dengan nada khas. Sama seperti doa-doa lain, Kidungan juga ditujukan kepada TUHAN. Kidungan ditulis menggunakan aksara Jawa dan berbahasa Jawa.
- Primbon (Ramalan-ramalan)
Primbon merupakan kitab Kejawen yang berisi ramalan untuk membaca gelagat alam semesta atau memprediksi suatu kejadian dan tata cara ritual-ritual Kejawen. Primbon ditulis menggunakan aksara Jawa dan berbahasa Jawa.
- Piwulang Kautaman (Ajaran utama)
Piwulang Kautaman merupakan kitab yang terdiri dari Pituduh (Perintah) dan Wewaler (Larangan) untuk membentuk pribadi masyarakat Jawa yang Hanjawani. Piwulang Kautaman ditulis menggunakan aksara Jawa dan menggunakan bahasa Jawa.
Naskah-naskah tersebut mencakup seluruh sendi kehidupan orang Jawa dari kelahiran sampai kematian, dari resep makanan kuno sampai asmaragama (kamasutra), serta ada ribuan naskah lainya yang menyiratkan kitab-kitab utama di atas dalam bentuk karya tulis dan biasanya dalam bentuk ajaran, nasehat, falsafah, kaweruh (pengetahuan) dan lain sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud Abangan adalah golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktekkan ajaran Islam dalam versi yang lebih sinkretis jika dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks.
Istilah ini berasal dari kata abang (bahasa Jawa) yang berarti merah. Abangan cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni. Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat pengaruh dari tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme.
Baca juga: Pengertian Moksa dan cara mencapainya
Ada juga yang mengatakan jika kata Abangan berasal dari kata Aba’an (bahasa Arab). Lidah orang Jawa membaca huruf ('ain) menjadi (ngain) sehingga menjadi Abangan.
Arti kata Aba’an kurang lebih adalah “yang tidak konsekuen” atau “yang meninggalkan”. Jadi para ulama dahulu memberikan julukan kepada orang-orang yang sudah masuk Islam tapi tidak menjalankan syariat Islam sebagai kaum Aba’an atau Abangan. Jadi, kata “abang” disini bukan dari kata dalam bahasa Jawa abang yang berarti warna merah.
Definisi Islam Abangan adalah sebutan untuk umat Muslim atau masyarakat Jawa yang mengaku beragama Islam. Islam Abangan ini merupakan perpaduan antara animisme, Hinduisme dan Islam.
Selain itu, Islam Abangan juga memberikan ruang kepada kepercayaan rumit terhadap roh dan teori mengenai ilmu hitam dan perdukunan.
Selain ada Islam Abangan ada juga Islam Putihan (santri). Kaum santri di stigmakan sebagai penganut ajaran Islam murni yang menjalankan syari’at Islam dalam praktek keagamaannya. Stigma itulah yang memicu salah satu pihak mengklaim praktek keagamaan mereka yang paling benar.
Istilah keduanya muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam yang dibawa oleh Walisongo (golongan Putihan) yang menyebarkan ajaran agama Islam didaerah pesisir.
Walisongo yang termasuk golongan Abangan menyebarkan Islam di daerah pedalaman. Kelompok Putihan dimotori oleh Sunan Giri yang didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Sedangkan kelompok Abangan dipimpin oleh Sunan Kalijaga yang didukung Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati.
Perbedaan cara berdakwah keduanya terletak pada penerimaan terhadap ajaran dan budaya lokal yang berkembang di suatu daerah.
Kelompok Putihan memiliki kecenderungan memahami Al-Qur’an dan Sunnah tanpa sinkretisasi ajaran nenek moyang, sedangkan kelompok Abangan masih mentolerir ajaran-ajaran leluhur setempat.
Terlepas dari perbedaan pada kedua kelompok Muslim Jawa tersebut, dalam proses Islamisasi kaum Abangan, ritual selamatan seperti: kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian, selamatan hari-hari tertentu seperti 1 Syura, 10 Syura, 12 Mulud, 27 Rejeb, 29 Ruwah, tanggal 21, 23, 25, 27 atau 29 pada bulan puasa, 1 dan 7 Syawal dan lainnya merupakan ritual yang memainkan peran penting dalam laku spiritual.
Dalam sejarah Islamisasi kaum Abangan, terlihat jelas bahwa para Wali berdakwah dengan sinkretis, yaitu membiarkan budaya lokal berpadu dengan nilai-nilai Islam, kecuali jika budaya-budaya tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Demikian sedikit informasi tentang mengenal ajaran Kejawen, Abangan dan Putihan yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini. Untuk informasi lain seputar dunia spiritual dan supranatural, dapat dibaca pada artikel Harta Langit lainnya.
Semoga bermanfaat
Terima kasih
Post a Comment for "Mengenal Aliran Kejawen, Abangan dan Putihan"