Filosofi Pandawa Lima Simbol Perjalanan Spiritual Manusia
Hartalangit.com – Wayang adalah gambaran kehidupan Manusia, meskipun didalamnya banyak sekali lakon dan tokoh-tokohnya, akan tetapi sesungguhnya Wayang merupakan gambaran kehidupan dari setiap individu Manusia yang tidak akan pernah lepas dari kodratnya sebagai makhluk yang terbungkus oleh nafsu.
Nafsu yang baik disimbolkan dengan Pandawa dan nafsu yang buruk disimbolkan dengan Kurawa. Kedua nafsu tersebut akan selalu berhadapan yang disimbolkan dengan Bharatayuda / Brantayudha (Perang Bharata / Perang Batin).
Cerita pewayangan penuh dengan simbol- simbol kehidupan yang tersirat, dan oleh pengarangnya divisualisasikan melalui tokoh-tokoh layaknya dalam kehidupan nyata.
Secara filosofi, Mahabharata dan kisah pewayangan lainnya sebenarnya merupakan gambaran kehidupan kita sebagai Manusia, baik gerak fisik, batin, maupun ruhani yang dimulai dari awal hingga akhir.
Satu lakon yang merupakan inti dan final dari perjalanan hidup kita sebagai Manusia yang digambarkan dalam Mahabharata adalah lakon yang berjudul “Perang Bharata (Bharatayuda / Brantayudha)”.
Perang Bharata adalah perangnya Pandawa sebagai tokoh yang baik melawan Kurawa sebagai tokoh yang jahat, dimana Pandawa dan Kurawa sebenarnya merupakan saudara.
Sesunguhnya kisah ini terdapat dalam diri Manusia pada saat mengalami kesadaran sebagai Manusia seutuhnya (insan kamil), saat dimana Manusia memiliki kesadaran, baik Cipta, Rasa, Karsa, lahir, batin, dan ruhani kita terhadap suatu sikap yang akan kita ambil dalam kehidupan yang selalu berada dalam dua pilihan, yakni baik dan buruk.
Untuk memahami tentang Mahabharata yang berarti juga harus memahami diri kita sendiri, maka kita harus masuk ke dalam kisah tersebut dengan sedetail-detailnya.
Langkah pertama adalah mengupas apakah Mahabharata itu, kemudian mengenal siapa saja tokoh-tokoh intinya dan lakon-lakon inti yang merupakan kunci untuk menemukan maksud dari kitab tersebut.
Mahabharata berasal dari dua kata, yaitu Maha dan Bharata. Maha berarti besar, sedangkan Bharata berarti kesatria atau luhur.
Dari dua kata tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Mahabharata berarti kesatria yang besar atau keluhuran yang besar. Maka dapat di artikan juga bahwa inti dari Kitab Mahabharata berisi ajaran tentang bagaimana untuk menjadi Manusia yang bersifat kesatria yang besar dan luhur.
Berikut ini adalah tokoh-tokoh inti dalam kisah Mahabharata:
A. Pandawa
Pandawa adalah sekelompok tokoh baik yang terdiri dari lima bersaudara, yaitu: Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Lazimnya kehidupan di masyarakat, kelima tokoh tersebut digambarkan berdiri sendiri-sendiri sebagai individu yang hidup dengan karakternya masing-masing.
Untuk mengkaji tentang tokoh-tokoh Pandawa Lima yang sebenarnya merupakan gambaran dari sifat-sifat baik dalam diri Manusia, maka kita harus mengupasnya dimulai dari urutan yang terkecil menuju urutan yang terbesar, yaitu dari Sadewa hingga Puntadewa.
1. Sadewa
Sadewa merupakan simbol sifat merasa sepeti Dewa. Maksudnya bahwa kita sebagai Manusia seringkali merasa paling bisa, paling hebat dan paling unggul sehingga muncul sifat sombong, ingin dihormati dan sejenisnya. Sifat batin Manusia dalam tingkatan Sadewa merupakan tingkatan terendah.
2. Nakula
Nakula merupakan simbol sifat ke-aku-an. Kula dalam bahasa Jawa artinya aku / saya. Maksudnya sifat ke-aku-an dalam diri Manusia yang tadinya merasa paling segalanya telah berubah setingkat lebih luhur menjadi sifat kesadaran dalam diri Manusia yang merasa dirinya kecil dan masih ada yang lebih di atasnya yang disimbolkan dalam kata “kula” (Bahasa Jawa Kromo untuk menyebutkan identitas diri secara santun).
3. Arjuna
Arjuna berasal dari kata “Her” dan “Jun”. Her artinya air bening / wening, atau bisa juga di artikan wingit / ghaib. sedangkan Jun artinya tempat. Arjuna merupakan simbol kondisi batin Manusia yang sudah dapat mencapai tenangan, keheningan dan kebijaksanaan.
Pada posisi ini Manusia telah sadar akan hakekatnya sebagai makhuk hidup yang sempurna sehingga tindak-tanduknya selalu disertai dengan pertimbangan-pertimbangan dan kebijaksanaan.
Untuk mencapai tahap batin ini tidaklah mudah karena perlu perjuangan berat untuk bisa mencapai tingkatan batin seorang Arjuna.
Dalam cerita pewayangan dikisahkan tentang perjalanan hidup Arjuna yang memiliki banyak istri, yaitu Srikandi, Sembadra, Larasati, dan Drestanala.
Istri-istri Arjuna sesungguhnya bukanlah berwujud sebagai individu, melainkan simbol sikap batin yang harus dicapai Manusia dalam tahap ini.
Srikandi berasal dari dua kata, yaitu “Sri” yang berarti baik dan “Kandi” yang berarti tempat atau wadah. Pada tahap ini dapat disimpulkan bahwa kita harus bisa menjadikan diri kita menjadi pribadi yang baik dalam sikap, pikiran maupun tingkah laku.
Srikandi dikisahkan belajar memanah yang memiliki makna bahwa untuk bisa bersikap, berpikir, dan berprilaku baik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak hal-hal yang perlu dipelajari dalam setiap kejadian yang kita alami dan tidak bisa hanya belajar dari teori.
Kita harus mampu mengambil hikmah yang baik dari setiap kejadian yang telah kita alami meskipun hal itu tidak mengenakkan. Merguru berarti belajar, dan artinya hati atau perasaan.
Jadi untuk bisa mencapai tahapan sifat batin Arjuna kita harus melatih dan membelajari hati kita untuk bisa tepat membidik hikmah-hikmah yang baik dari setiap kejadian, sehinggann nanti sikap tersebut akan melekat dalam diri kita.
Hal inilah yang membedakan pribadi kita dahulu yang masih penuh amarah dan nafsu angkara murka yang merupakan sifat dan simbol dari Kurawa bisa menuju perubahan menjadi pribadi Pandawa.
Sembadra berasal dari kata “Badra” yang berarti halus. Setelah dapat mengambil hikmah-hikmah yang baik dari setiap kejadian, selanjutnya kita tingkatkan kualitas batin kita agar mampu menerima, rela, sabar, serta ikhlas pada apa yang telah terjadi dalam hidup kita meskipun hal itu mungkin tidak menyenangkan.
Dengan membiasakan sikap ini maka batin kita lama-kelamaan akan terbentuk menjadi lebih halus dan tentunya akan mempengaruhi diri kita secara keseluruhan menjadi Manusia yang berkepribadian halus.
Larasati berasal dari dua kata, yaitu “Laras” yang artinya sesuai dan “Ati” yang artinya hati. Larasati bisa di artikan selaras / sesuai dengan hati. Yang dimaksud adalah kesadaran rohani yang berasal dari dalam diri Manusia, bukan dari panca indera yang terkadang membungkus batin Manusia dengan nafsu-nafsu angkara.
Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi Manusia yang memiliki kesadaran spiritual tinggi, maka kita harus memiliki pikiran yang jernih. Untuk dapat memiliki pikiran yang jernih kita harus mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan cara sering meditasi dan tirakat.
Baca juga: Laku tirakat dalam ajaran Kejawen
Dalam cerita pewayangan dikisahkan ketika Arjuna bertapa di gunung Indrakila yang bermakna bahwa untuk masuk ke dalam tingkatan spiritual Arjuna kita harus mengistirahatkan panca indera dengan jalan meditasi, semedi, bertapa dan sejenisnya.
Setelah mendapat pencerahan rohani maka batin Manusia akan menjadi semakin peka dan memiliki kesadaran akan fitrahnya sebagai sesuatu yang bersemayam dalam jasad Manusia yang suatu saat akan ditinggalkan, sehingga pada tingkatan ini Manusia akan mulai berpikir kemana selanjutnya setelah meninggalkan jasad yang ditempatinya.
Untuk menjawab pertanyaan itu, maka kita harus mengenal tingkatan batin Werkudara. Tapi sebelum membahas Werkudara, ada satu hal penting dalam tingkatan Arjuna dimana dikisahkan dalam cerita pewayangan bahwa dialah penentu kemenangan dalam perang Bharata (Bharatayuda / Brantayudha).
Bahkan Dewa Wisnu yang menjelma sebagai Kresna hanya menjadi kusir kereta bagi Arjuna. Kisah ini memiliki makna bahwa Dewa Wisnu yang merupakan simbol sifat ke-Tuhanan yang melekat dalam diri Manusia (Ruh Manusia adalah sebagian kecil dari Ruh TUHAN yang ditiupkan-NYA) tetap terpengaruh oleh kebijaksanaan pribadi Manusia.
Dalam hal ini Arjuna adalah pengambil keputusan. Maksudnya bahwa sebagai Manusia kita tidak boleh hanya pasrah pada takdir. Meskipun nasib setiap Manusia telah ditakdirkan oleh TUHAN, tapi kita tetap harus berusaha / ikhtiar.
Dewa Wisnu yang menjelma dalam diri Kresna hanya berperan sebagai kusir yang pada saat-saat genting akan memberikan wejangan dan tuntunan kepada Arjuna dalam bersikap (Baghawatgita / Nyanyian atau Syiir Begawan).
Pada saat tertentu ketika panca indera telah mengacaukan ketenangan batin, Manusia perlu bertanya kepada nuraninya.
4. Werkudara
Werku berarti menahan, mengendalikan atau mengatur, dan udara berarti nafas. Werkudara dapat diartikan sebagai suatu proses pengendalian nafas atau pengendalian hidup, karena inti dari hidup adalah nafas. Tingkatan ini sangat sulit dicapai dan hanya orang-orang terpilih saja yang dapat mencapainya.
Untuk mencapai tingkatan Werkudara, Manusia harus melalui berbagai macam proses seperti yang dikisahkan dalam lakon Dewaruci dan Begawan Bimo Suci.
Dalam lakon Dewaruci dikisahkan bahwa Bima / Werkudara ditugaskan oleh Resi Durna gurunya untuk mencari Banyu Perwita Sari (Perwita Suci).
Untuk mendapatkan Banyu Perwitasari, Bima harus mencarinya di Alas Tribaksara dan dia harus mengalahkan Raksasa Rukmuka dan Rukmukala.
Kemudian Bima harus nyegur (masuk) Samudera Laya dan harus mengalahkan Naga Raksasa. Dan yang terakhir Bima bertemu dengan Dewaruci yang akhirnya mendapat wejangan tentang rahasia hidup.
Banyu Perwitasuci atau Perwitasari adalah sumber kehidupan yang berada dalam diri Manusia yang merupakan sari atau sepercik ruh dari yang Maha Hidup. Sejatinya Banyu Perwitasari adalah ruh atau diri kita yang bersemayam dalam jasad.
Untuk menemukan siapa diri kita, ada suatu proses yang harus dilalui yaitu Raga Sukma, yakni suatu keadaan dimana sukma keluar dari raga sebelum waktunya mati.
Raga artinya tubuh dan Sukma artinya Ruh. Raga Sukma adalah proses keluarnya sukma dari tubuh yang sengaja dilakukan dengan laku tertentu. Proses tersebut disimbolkan dengan urutan lakon dalam pewayangan yaitu:
- Babad Alas Tribaksara
Babad artinya membabat, memangkas atau membuka, Alas artinya hutan, Tri artinya tiga dan Aksara merupakan bentuk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam proses awal Raga Sukma adalah membuka tiga aksara, yakni Cipta, Rasa, dan Karsa dimana Manusia harus bisa menghancurkan atau mengalahkan dahulu Raksasa Rukmuka dan Rukmukala sebagai simbol dari hawa nafsu yang membelenggu Cipta, Rasa, dan Karsa Manusia.
Rukmuka bisa di artikan wajah / muka atau panca indera, dan Rukmukala (kala) bisa berarti jeratan. Sehingga dapat di artikan bahwa semua yang datang dari panca indera dapat menjadi jeratan bagi Cipta, Rasa, dan Karsa Manusia.
Untuk itu kita harus dapat menghancurkan jeratan tersebut dengan jalan semedi diam tanpa aktivitas apapun, hanya pengaturan nafas yang halus.
- Nyegur Samuderalaya
Nyegur berarti masuk, sedangkan Samudera artinya lautan dan Laya artinya kematian. Jadi, Nyegur Samuderalaya dapat diartikan suatu proses setelah pengaturan nafas untuk menuju perpisahan antara ruh dengan jasad atau keluarnya ruh dari jasad.
Untuk mencapai tahap tersebut tidaklah mudah, karena meskipun panca indera telah tidak berfungsi saat meditasi, tapi terkadang masih juga ada gangguan dalam alam batiniah berupa memori-memori yang mendadak muncul sehingga memulihkan kembali kesadaran panca indera.
Maka dalam lakon selanjutnya dikisahkan Bima harus bertarung melawan Naga Raksasa dalam samudera yang membelit tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Naga Raksasa tersebut melambangkan darah yang mengalir dalam diri Manusia yang merupakan sumber hidup yang berarti juga hidupnya nafsu-nafsu.
Oleh karena itu, harus dijaga dengan benar peredarannya ketika semedi, karena cepat lambatnya perputaran darah sama dengan cepat lambatnya pengaturan nafas. Semakin halus nafas kita maka semakin pelan peredaran darah mengalir yang berarti semakin masuk kita kedalam diri pribadi dan hampir keluar dari jasad.
Setelah bisa sampai tahap ini, maka tinggal menunggu rahmat dan ijin dari TUHAN. Jika memang TUHAN menghendaki maka proses selanjutnya adalah keluarnya sukma dari raga. Itu artinya kita bisa melihat tubuh kita sendiri.
Dalam kisah selanjutnya diceritakan Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Dewa adalah simbol dari TUHAN dan Ruci artinya kecil. Dewa Ruci memiliki makna bahwa sebagian kecil dari Ruh TUHAN adalah Ruh kita, maka dikisahkan Dewa Ruci berbentuk mirip dengan Bima yang berarti bahwa kita telah keluar dari raga dan bisa melihat tubuh kita sendiri yang tentunya sama dengan ruh kita.
Baca juga: Cara mempelajari ilmu Rogosukmo
Selanjutnya Dewa Ruci memberikan wejangan tentang rahasia kehidupan, sama seperti ketika Manusia sampai pada kondisi tersebut maka akan mendapat wejangan tentang kehidupan dimana hanya Manusia itu sendiri yang tahu.
Itulah yang dinamakan Banyu Parwitasari yang juga terkandung dalam kalimat “tapake kuntul ngalayang (jejak burung kuntul yang sedang terbang), galih kangkung (inti dari kangkung) dan susuhing angin (tempat bersarangnya angin)” dimana yang dimaksudkan adalah sesuatu yang tidak nampak tetapi ada, itulah hidup atau ruh.
- Lakon Bima Suci
Setelah Bima bertemu Dewa Ruci dan sudah kembali hidup normal menggunakan jasadnya, maka Bima kemudian menjadi Begawan.
Manusia yang telah mengalami proses ini pasti akan mengalami perubahan spriritual dan pandangan hidupnya dari sebelumnya, maka Bima memiliki Kerajaan yang dinamakan Jodhipati. Jodhi berarti berani dan Pati berarti mati. Jodhipati bisa di artikan berani mati karena pisahnya ruh dan jasad berarti mati meskipun belum saatnya dan akan kembali sebagai Manusia biasa hingga batas waktu yang ditentukan.
5. Puntadewa
Puntadewa adalah simbol tingkatan tertinggi atau Manusia yang telah menjadi insan kamil atau khalifah TUHAN untuk alam ini, yaitu Manusia yang telah menduduki fungsinya sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk lain sehingga ditunjuk sebagai wakil TUHAN untuk memelihara alam ini. Puntadewa diceritakan berdarah putih dan dan merupakan Raja yang tidak bermahkota.
Punta / Punton berarti tali, sedangkan Dewa adalah simbol ke-Tuhanan. Puntadewa dapat diartikan sebagai wakil dari TUHAN.
Manusia yang sangat dekat dengan TUHAN disimbolkan berdarah putih karena akan selalu menjaga dirinya dari hal-hal yang tidak baik. Sedangkan Raja tidak bermahkota berarti Manusia yang tidak silau akan harta dan tahta duniawi.
Baca juga: Sejarah dan makna Jimat Kalimasada
B. Kurawa
Kurawa merupakan simbol keinginan-keinginan duniawi yang akhirnya melahirkan nafsu dalam diri Manusia. Keinginan Manusia yang sangat banyak dilambangkan dengan jumlah Kurawa yang mencapai 100 orang. Sedangkan Pandawa yang hanya berjumlah 5 orang merupakan simbol dari tahapan spiritual Manusia.
C. Punakawan
Punakawan adalah abdi yang selalu mengikuti Pandawa dan memiliki peran sangat penting karena setiap kali Pandawa ditinggal Punakawan pasti selalu mendapat masalah meskipun Pandawa sangat sakti dan dekat dengan Dewa. Artinya, Manusia harus selalu disertai dengan sifat Punakawan agar hidupnya tidak mudah terpengaruh ke jalan yang salah.
Punakawan terdiri dari:
- Semar yang berarti samar yang bertugas momong atau mengasuh pribadi kita. Dalam kepercayaan Jawa disebutkan bahwa setiap Manusia selalu ada yang momong atau membimbing yang bersifat ghaib.
Semar digambarkan sebagai sosok laki-laki tapi seperti perempuan yang merupakan simbol dari sifat samar atau ghaib. Semar memiliki kuncung yang menghadap ke atas yang merupakan simbol ketuhanan.
Semar bersifat ghaib tetapi bukan TUHAN, karena dia hanya wakil TUHAN yang ghaib yang ditugaskan untuk ngemong atau membimbing setiap Manusia.
Baca juga: Ajaran tauhid dari tokoh Punakawan Semar
- Petruk yang memiliki makna papat (empat) ruh atau batin, yaitu ruhiah, siriah, nuriah, dan haluwiyah, maka Petruk digambarkan berhidung besar dan panjang dan dijuluki juga Petruk kantong bolong.
Hidung besar dan panjang merupakan simbol Manusia yang selalu berhati-hati dalam setiap nafasnya, baik dalam bersikap, berpikir, dan bertingkah laku. Kantong bolong adalah simbol Manusia sebagai tempat yang selalu kurang dari kesempurnaan, layaknya kantong yang bolong yang tidak akan penuh ketika di isi. Kantong bolong melambangkan kedudukan Manusia sebagai perantara.
- Nala Gareng memiliki makna hati yang kering. Nala Gareng adalah simbol dari sifat hati yang kering dan tidak berburuk sangka, atau selalu khusnudhon.
Gareng digambarkan memiliki kaki pincang, tangan yang cacat dan mata juling. Artinya, setiap akan melangkah hendaklah menimbang terlebih dulu baik dan buruknya seperti berhati-hatinya orang cacat saat berjalan.
Begitu juga ketika akan memberi dan menerima, baik hal yang bersifat materi maupun spiritual harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati seperti geraknya tangan orang yang cacat.
Sedangkan mata juling adalah simbol penglihatan. Manusia harus cermat melihat dan menilai sesuatu karena terkadang apa yang terlihat tidak selalu sesuai dengan fakta lahir atau ada maksud dan tujuan yang tersembunyi, sehingga kita harus benar-benar cermat seperti melihatnya mata orang yang juling yang kadang tidak sesuai dengan arah yang dilihat.
- Bagong adalah simbol sifat pemalas dan tidak akan berbuat jika tidak disuruh terlebih dulu. Bagong merupakan gambaran sikap dari diri Manusia yang telah menjadi Pandawa yang hanya akan melaksanakan sesuatu setelah benar-benar diperhitungkan terlebih dahulu. Maka apabila belum mendapatkan kemantapan terhadap suatu hal, dia belum akan melaksanakan hal tersebut.
D. Dewa
Para Dewa dalam cerita pewayangan melambangkan daya kelebihan (daya kaluwihan) yang dimiliki oleh seorang Manusia yang telah berhasil mencapai laku dan pemahaman hidup Pandawa.
Semua pengalaman, dari yang baik maupun yang buruk akan di olah oleh daya Cipta, Rasa dan Karsa menjadi suatu ilmu pengetahuan dan kebisaan. Cipta oleh otak dan akal, Rasa oleh hati, batin dan ruh, sedangkan Karsa oleh bertindaknya raga.
Demikian sedikit informasi tentang filosofi Pandawa Lima sebagai simbol perjalanan spiritual Manusia yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini. Untuk informasi lain seputar dunia spiritual dan supranatural, dapat dibaca pada artikel Harta Langit lainnya.
Semoga bermanfaat
Terima kasih
Post a Comment for "Filosofi Pandawa Lima Simbol Perjalanan Spiritual Manusia"