Sejarah dan Pengertian Weton Jawa
Dasarnya adalah “moco ing waskito” yang berarti membaca kejadian dari fenomena atau tanda-tanda (alam) yang telah terjadi sebagai panduan untuk memahami setiap peristiwa yang akan terjadi.
Ingatan-ingatan tersebut kemudian dicatat ketika Manusia mulai mengenal tulisan. Catatan-catatan fenomena alam yang polanya telah dipelajari dan di uji berulang-ulang secara empiris tersebut kemudian ditata menjadi suatu sistem penanggalan.
Salah satu contoh dari metode peramalan ini dapat ditemukan dalam sistem perhitungan Neptu pada hari kelahiran Jawa yang disebut Wetonan. Ada beberapa versi dalam perhitungan Neptu Weton Jawa, antara lain: Poncosudo, Saptoworo / Poncoworo dan Kamarokam.
Baca juga: Misteri kesakralan malam 1 Suro
Para leluhur Jawa percaya bahwa hari dimana seorang anak dilahirkan akan membawa pengaruh pada sifat, karakter dan jalan hidup anak tersebut.
Sejak jaman dahulu, sistem penanggalan atau penghitungan Neptu Weton Jawa ini sudah biasa digunakan oleh masyarakat Jawa. Bukan hanya sebagai penanda hari lahir atau untuk menggambarkan sifat / karakter dan nasib seseorang saja, tapi bisa juga digunakan untuk menentukan masa tanam dan panen, meramal kecocokan jodoh, atau untuk meramalkan hari baik untuk tujuan-tujuan tertentu.
Berbagai pakem dalam penghitungan ataupun penafsiran dari Weton sudah mengakar begitu dalam. Beragam metode, rumus, ataupun ketentuan yang diyakini dari generasi ke generasi memiliki makna yang menjadi tuntunan ataupun peringatan bagi yang mempercayainya.
Weton adalah gabungan dari tujuh hari dalam seminggu (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) dengan lima hari pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon).
Perputarannya akan berulang setiap 35 hari (7 x 5) hari, sehingga menurut perhitungan Jawa, hari lahir seseorang akan berulang setiap lima minggu, dan setiap hari kelahiran memiliki pengaruh masing-masing dalam menentukan sifat, karakter dan nasib seseorang.
Perhitungan Weton sangat penting bagi orang Jawa, terutama saat akan melaksanakan suatu acara penting seperti pernikahan, pindah rumah atau acara-acara penting lainnya. Umumnya, weton digunakan untuk menentukan tanggal yang baik untuk pelaksanaan acara tersebut dan untuk menghindari hari yang di anggap tidak baik.
Karena digunakan untuk menentukan keputusan penting, maka cara menghitung Weton tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Biasanya perhitungan Weton akan diserahkan kepada orang yang di tuakan dan di anggap memiliki cukup ilmu untuk melakukannya.
Cara menghitung Weton yang pertama adalah dengan menggunakan Neptu hari dan pasaran Jawa berdasarkan hitungan Jawa versi Saptoworo dan Poncoworo.
Berikut ini Neptu hari dan pasaran Jawa:
Neptu hari:
- Minggu: 5
- Senin: 4
- Selasa: 3
- Rabu: 7
- Kamis: 8
- Jumat: 6
- Sabtu: 9
Neptu pasaran:
- Wage: 4
- Kliwon: 8
- Legi: 5
- Pahing: 9
- Pon: 7
Masing-masing hari dan pasaran memiliki nilai yang berbeda-beda. Cara menghitung Weton bisa dilakukan dengan menjumlahkan nilai hari dan pasaran.
Contohnya: Hari Jumat Kliwon Neptu Wetonnya adalah 14 dari penjumlahan nilai hari Jumat = 6 dan nilai pasaran Kliwon = 8 hasilnya adalah 14.
Baca juga: Misteri kesakralan malam Jumat Kliwon
Jumlah neptu yang didapat bisa digunakan sebagai patokan untuk mengetahui watak seseorang, ramalan jodoh atau kecocokan jodoh, rejeki, menentukan hari baik dan lainnya.
Weton berasal dari kata Wetu yang bisa di artikan keluar atau lahir, kemudian mendapat akhiran “an” sehingga menjadi kata benda. Yang disebut dengan Weton adalah gabungan antara hari dan pasaran saat bayi dilahirkan ke dunia.
Dengan kata lain, Weton merupakan penggabungan / penyatuan / penghimpunan / penjumlahan nilai dari hari dan pasaran lahir seseorang.
Setiap orang Jawa memiliki Weton, karena Weton adalah hari kelahiran seseorang sesuai dengan hari pasarannya. Hari pasaran terdiri dari lima hari dengan urutan Kliwon, Legi, Pahing, Pon dan Wage.
Lima hari tersebut dinamakan pasaran karena masing-masing hari pasaran tersebut sejak jaman kuno telah digunakan untuk menentukan dibukanya pasar bagi para pedagang, sehingga pada hari yang ditentukan untuk suatu pasar akan banyak pedagang yang datang untuk menjual dagangannya dan banyak dikunjungi orang untuk berbelanja.
Jika mengungkap dari leluhur jaman dahulu, nama lima hari pasaran tersebut sebenarnya di ambil atau berasal dari nama lima roh. Nama-nama roh tersebut adalah Batara Legi, Batara Pahing, Batara Pon, Batara Wage dan Batara Kliwon yang merupakan bagian pokok dari jiwa Manusia yang sudah menjadi pengetahuan dan keyakinan leluhur orang Jawa sejak zaman dulu sampai sekarang.
Baca juga: Penyebab musnahnya tradisi Kejawen
Berhubung lima hari pasaran tersebut pada hakikatnya mengambil dari nama jiwa Manusia yang disebut sebagai “Sedulur Papat Limo Pancer”, sehingga dikalangan masyarakat Jawa sampai sekarang ini masih banyak yang menggunakan nama lima pasaran tersebut untuk dijadikan titikan bagi perangai seseorang menurut hari pasaran kelahirannya.
Sedulur Papat Limo Pancer sejatinya merupakan arah, yaitu: Lor (utara), Kidul (selatan), Kulon (barat) dan Wetan (timur), sedangkan Pancer (Tengah) adalah pusat kosmis (semesta) Manusia Jawa. Arah kiblat ini juga terkait dengan perjalanan hidup Manusia yang selalu ditemani oleh Sedulur Papat Limo Pancer.
Sedulur Papat terdiri dari: Kakang Kawah, Getih, Puser, dan Adi Ari-ari. Sedangkan Pancer adalah Ego atau diri Manusia itu sendiri. Letak Sedulur Papat ini juga sejalan dengan arah kiblat Manusia Jawa.
Kawah berwarna putih berada di sebelah timur (wetan / witan) yang mengawali kelahiran atau sebagai pembuka jalan. Getih berwarna merah berada di sebelah selatan, Puser berwarna hitam berada di sebelah barat, dan Adi Ari-ari berwarna kuning berada di arah utara. Sedangkan yang di tengah adalah Pancer, yaitu Mar atau Marti yang keluar lewat Margohino secara lahiriah.
Bagi masyarakat Jawa kepercayaan tentang Weton bersifat sakral atau sesuatu yang di anggap keramat dan bisa mendatangkan keberuntungan, kebaikan, keberkahan, kemalangan, keburukan dan lain sebagainya.
Orang Jawa sangat memperhatikan keselamatan agar pada akhirnya bisa menjadi Manusia yang beruntung (begja / bejo). Keberuntungan juga ditandai jika dalam berumah tangga bisa mendapat keturunan yang baik.
Oleh karena itulah ada pepatah Jawa yang mengatakan “banyu kuwi mili mudhun”, artinya “bahwa perwatakan orang tua akan menurun pada anaknya”, selalu mendapat penekanan. Dengan kata lain, pernikahan adalah masa persiapan atau peletakan pondasi keluarga, sehingga selalu di upayakan menuju ke kesempurnaan hidup.
Sempurna yang dimaksud adalah tidak mengalami kesulitan dan yang mendorong orang untuk mencari kesempurnaan adalah sebuah pengharapan bahwa mungkin Manusia tidak akan mengalami kesulitan selamanya.
Dalam tradisi Jawa, jodoh termasuk misteri yang siapa pun tidak ada yang tahu, karena TUHAN sedikitnya merahasiakan tiga hal, yaitu: Pesthi, Jodho, Wahyu.
Untuk meraih tiga hal tersebut harus melalui petungan khusus. Masyarakat Jawa sendiri ada yang hanya sekedar menerapkan petungan untuk mencari (menemukan) jodohnya dan ada juga yang menerapkan petungan ke dalam mistik, sekurang-kurangnya melalui tirakat.
Baca juga: Laku tirakat dalam ajaran Kejawen
Dalam menjalani tradisi Kejawen, orang Jawa selalu mengacu pada budaya leluhur yang diwarisi secara turun-temurun. Orang Jawa juga sering menyebut “leluwur”, artinya leluhur yang telah meninggal tetapi memiliki karisma tertentu.
Leluhur di anggap memiliki kekuatan tertentu, apalagi jika orang yang telah meninggal tersebut tergolong “wong tuwo” (orang tua) baik dari segi umur maupun ilmunya. Oleh karena itu, disadari atau tidak orang Kejawen telah banyak memanfaatkan karya-karya leluhur sebagai pijakan dan pijaran hidupnya.
Bertitik tolak dari dasar-dasar filosofis dan keyakinan pada Weton maka dapat diketahui bahwa terdapat latar belakang teologis yang mengarah pada mistik / magis dan klenik.
Dengan mistik dimaksudkan bahwa Manusia berusaha untuk mencari keselarasan dengan ketentuan-ketentuan (takdir) TUHAN.
Dengan mengikuti perhitungan-perhitungan sebagaimana yang terdapat dalam Primbon Jawa, berarti bahwa Manusia Jawa berupaya menyelaraskan hidupnya dengan takdir dengan mengacu pada tanda-tanda / isyarat alam.
Sedangkan yang dimaksud dengan magis adalah tindakan Manusia yang berusaha untuk memaksakan kehendaknya dengan bantuan kekuatan adiduniawi.
Dimensi magis itu terlihat pada penempatan angka-angka sebagai angka bernilai keramat yang menentukan baik buruknya waktu, demikian juga pandangan tentang hari dan bulan yang di anggap tidak baik atau hari dan bulan yang tidak menguntungkan sebagai hasil dari perhitungan.
Demikian sedikit informasi tentang sejarah Weton Jawa yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini. Untuk informasi lain seputar dunia spiritual dan supranatural, dapat dibaca pada artikel Harta Langit lainnya.
Semoga bermanfaat
Terima kasih
Post a Comment for "Sejarah dan Pengertian Weton Jawa"