Sejarah dan Filosofi Kudhi
Hartalangit.com – Pada masa lalu Kudhi merupakan perkakas yang serbaguna karena selain digunakan sebagai alat pertanian, Kudhi juga sering digunakan sebagai alat untuk membela diri.
Kudhi yang dianggap memiliki daya linuwih atau tuah hanya diperuntukkan sebagai pusaka yang disakralkan. Masyarakat Banyumas sering menyebutnya Kudhi Trancang.
Kudi merupakan senjata tradisional yang hanya terdapat di Jawa dan banyak ditemukan di Jawa bagian selatan seperti Banyumas dan Cilacap.
Baca juga: Jenis-jenis Kujang dan fungsinya
Ada beberapa jenis Kudhi yang ada di Banyumas, antara lain:
1. Kudhi Biasa
Kudhi jenis ini sering digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Ukuran panjang bilahnya sekitar 40 cm dan lebarnya sekitar 12 cm.
2. Kudhi Melem
Dinamakan Kudhi Melem karena pada bagian ujungnya berbentuk seperti ikan melem. Ukurannya lebih kecil dibanding Kudhi biasa dengan panjang bilah sekitar 30 cm dan lebarnya sekitar 10 cm.
3. Kudhi Arit
Bentuk Kudhi Arit cukup unik karena pada bagian tengahnya dibuat menonjol atau biasa disebut “weteng” (perut).
Kudhi jenis ini sering digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti mencari kayu bakar, memotong kayu atau untuk nderes (mencari nira). Ukuran panjang bilah Kudhi Arit sekitar 35 cm dan lebar bagian perutnya sekitar 10 cm.
Bagi masyarakat Banyumas, Kudi bukan hanya sebagai perkakas pertanian saja karena ada nilai-nilai falsafah pada Kudhi yang mencerminkan karakter dan kepribadian masyarakat Banyumas.
Bagian-bagian Kudhi terdiri dari: ujung, perut, karah dan gagang. Bagian-bagian tersebut memiliki makna filosofi yang mencerminkan karakter masyarakat Banyumas yang sesungguhnya.
Ujung Kudhi yang lancip melambangkan mulut (lathi) sebagai perlambang bahwa harga diri seseorang terletak pada gerak lidahnya (ucapannya), “Ajining diri soko kedhaling lathi”.
Bentuk ujung Khudi yang sama dengan senjata-senjata tradisional dari daerah lain seperti golok, pedang dan sejenisnya juga menunjukkan bahwa masyarakat Banyumas dapat menerima perbedaan (toleransi).
Bentuk perut Kudhi yang menonjol memiliki makna bahwa dalam hidup ini hendaknya kita tidak hanya memenuhi hawa nafsu belaka, tapi ada hal yang lebih penting yaitu berusaha dan bekerja. Kemampuan bagian perut Kudhi sangat besar untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang berat-berat seperti membelah atau memotong obyek yang besar.
Pada masa lalu Kudi sering diberi karah dari bahan emas atau perak dan terkadang juga dihiasi dengan ukiran-ukiran yang indah.
Karah menggambarkan bahwa penampilan tidak bisa dijadikan sebagai acuan baik tau buruknya sifat sesorang, karena tidak semua Kudi yang diberi karah bagus dan indah memiliki perut serta ujung yang tajam.
Sedangkan gagang merupakan pegangan yang berfungsi agar Kudi bisa digunakan dengan baik. Masyarakat Banyumas memiliki prinsip bahwa hidup harus memiliki keyakinan yang kuat.
Konon asal muasal Kudhi hampir sama dengan penciptaan wayang kulit oleh para Wali. Wayang kulit merupakan kreasi dari para Wali yang digunakan sebagai media untuk menyebarkan ajaran Agama Islam.
Karena sepintas bentuk perut Kudhi mirip dengan bentuk lafadz ALLAH, maka kemudian Kudhi identik dengan perkembangan Islam di Banyumas. Hal yang sama juga terdapat pada bentuk muka, tangan serta kaki wayang-wayang Pandawa.
Jika ditinjau dari tempat pembuatannya, Kudhi diperkirakan berasal dari daerah yang bernama Desa Pasir, karena Desa Pasir merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam didaerah Banyumas. Hal ini menunjukan bahwa Kudhi memiliki arti lain sebagai perlambang, atau simbol-simbol yang bermakna religius.
Kudhi juga memiliki filosofi yang lain seperti “Kudhi Pacul Sungan Landepa”. Kudhi dan cangkul adalah alat untuk bekerja. Maksudnya, dalam mencapai suatu tujuan atau mencari pekerjaan tidak akan melakukan hal-hal yang menyimpang.
Sebagai alat untuk bekerja, Kudhi memerlukan tempat khusus agar tidak menganggu aktivitas atau pekerjaan seseorang. Oleh karena itu, ada tempat khusus untuk meletakkan Kudhi yang disebut dengan Kethoprak / Korakan / Tha’kolak.
Kethoprak biasanya akan digantung dibelakang pada ikat pinggang, sehingga jika orang yang memakainya berjalan maka akan terdengar suara yang khas seakan-akan berbunyi ”korak-korak”.
Inilah bentuk kejujuran, keberanian dan sportivitas orang Banyumas sebagai tanda bahwa ia sedang membawa senjata. Berbeda dengan orang kebanyakan yang jika membawa senjata selalu diselipkan atau disembunyikan dibalik bajunya.
Baca juga: Filosofi Keris, Dhuwung dan Curigo
Tapi jika melihat fakta yang ada, mungkin kurang tepat jika Kudhi dikatakan baru ada pada jaman para Wali atau jaman Kerajaan Islam di Jawa. Karena banyak juga ditemukan Kudhi-Kudhi dari jaman kabudhan yang justru banyak ditemukan disungai Brantas - Jawa Timur.
Itu artinya Kudhi sudah ada jauh sebelum agama Islam masuk ke Nusantara dan sudah digunakan oleh masyarakat pada masa itu untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Kudhi Budho |
Kudhi-Kudhi jaman kabudhan atau yang sering disebut Kudhi Budho banyak digunakan oleh para penggemar dan kolektor Tosan Aji sebagai pusaka tindih untuk meredam aura negatif dari pusaka-pusaka lain.
Kemungkinan Kudi juga merupakan salah satu media yang digunakan oleh para Wali untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa seperti halnya Keris dan Wayang kulit.
Walisongo, terutama Kanjeng Sunan Kalijogo memang banyak mengadopsi tradisi dan budaya yang sudah ada di masyarakat Jawa pada masa itu dengan memasukkan unsur-unsur Islam didalamnya supaya ajaran Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa yang saat itu sudah memiliki keyakinan lain.
Demikian sedikit informasi tentang sejarah, filosofi dan tuah Kudi yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini. Untuk informasi lain seputar benda-benda pusaka, dapat dibaca pada artikel Harta Langit lainnya.
Semoga bermanfaat
Terima kasih
Post a Comment for "Sejarah dan Filosofi Kudhi"